Pesona Lembayung Untuk Senja


    Senja yang mulai memucat, langit yang mulai berganti wajah. Sebentar lagi, ufuk barat bergeser pada gelap. Cerah yang membakar bumi sampaikan lagu sendu. Kini semua melebur jadi gelap dengan kerlip-kerlip di mayapada.

Di tengah hembusan sang bayu, wanita bersurban mimpi itu masih menatap kejauhan. Sedari tadi, netranya tidak lepas menjamah sawah di depannya. Entah untuk kesekian kali dia terus menatap.

Matanya mungin di sana, tidak dengan hatinya. Jiwanya. Raganya seolah tengah mengembara di labirin rasa yang kini terus mencekiknya. Perasaan yang begitu saja hadir. Memeluk tubuh mungilnya. Tadinya dia tidak percaya. Mana mungkin hati yang sekian lama gersang begitu mudah diketuk oleh satu nama.

"Jangan pura-pura. Kalau suka yang biang saja," kata sebuah nama yang dia anggap teman.

"Apaan sih, gak asyik tahu."

"Sorry. Hanya bercanda. sensitif amat!" Katanya dengan aksen medok betawi-nya.

Mana mungkin dia lupa dengan kata-kata itu. Kata yang seringkali diulang teman. Kata yang bukan sebaris kata. Ada makna dibaliknya. Terlebih diucap oleh si Anak Senja. Pendatang baru dari ibukota. Lelaki sejuta pesona dan kharisma.

Sebenarnya bukan dia tidak tahu rasa itu. Di dasar hatinya sejak pertama kenal sudah bisa menebak getar di dadanya. Ternyata, diapun sama merasakan itu.

Senang hatinya. Siapa tidak senang rasa itu tidak bertepuk sebelah tangan. Sebuah rasa yang sering dikutip para pujangga kawakan. Dia merasakanya dan si Anak Senja itupun sama. Apanya yang salah? Bukankah rasa cinta itu anugerah dari Pemilik Kuasa Alam seisinya. Begitu yang dia ketahui.

Tapi ini kasus beda. Kasusnya tidak semudah itu. Makanya dia tidak mau main-main. Apalagi menerima begitu saja pengungkapan rasa itu. Kamu harus tahu diri, lirih hatinya.

Allahu akbar Allahu Akbar 

Assyhadu alla ilaaha ilallah 

Suara di musola terdengar syahdu. Adzan maghrib berkumandang. Segera dia mengambil air wudhu. Menghamparkan sajadah tepat di ruang tengah. Ibunya sudah dari tadi tadarus menunggu waktu. Abahnya di musola setia dengan butir tasbih. Terus memutar-mutar. Lisannya menggumamkan tasbih, istigfar, dan takbir. Potret harian di rumahnya. Ah, betapa bahagianya lahir dari rahim yang selalu menjaga cinta pada-Nya. Cinta yang tulus tanpa ada noda dibaliknya. 

***

"Jadi rencanya kamu akan berangkat kapan Neng," kata Abahnya di sela makan malam.

"Kalau tidak ada halangan, insya allah dua hari lagi Bah," katanya. Abahnya mengangguk sambil terus mengunyah makanan.

"Apa gak bisa toh Neng, lebih lama lagi. Apa kamu tidak tahu, ibu teh masih keneh kangen da kana sama Neng. Nya'ah pokoana mah." Sahut ibunya disambut senyuman Abahnya. 

"Pengennya begitu Bu. Ibu kayak tidak tahu saja Ustadzah Khadijah, mana bisa mengijinkan terlalu lama. Tegas sekali beliau."

"Iya, sih."

"Sudahlah Bu. Anak kita kan tengah menuntut ilmu. Ilmu agama lagi. Ibu doakan saja yang terbaik. Lagian di pondok insya allah lebih berkah. Bukan gitu Neng?"

"Iya, apa yang Abah katakan benar. Ibu doakan yang terbaik. Moga cepat Neng membyong ...," sengaja memotong omonganya.

Ibunya mengerutkan kening, "Memboyong apa?"

"Ilmu atuh Ibu! Masa calon suami."

"Ah kamu, bikin degdegan saja," sahut ibunya, "Kalau mau mbyong calon mantu juga boleh kok. Sudahlah, yang lahap makannya." pungkas ibunya menahan senyum.

Di luar sana rembulan tengah mengintip kebersamaan keluarga kecil itu. Angin begitu lembut menerobos dinding yang terbuat dari triplek. Mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan.  

Nun jauh di sana, di depan kamarnya. Lelaki bersarung tengah menggores kata di buku harianya. Buku yang setia menemaninya di perantauan kota Santri. Kota yang sejuk dan nyaman. Kota pemberi harap di tengah sisi gelapnya. Dua bulan lebih di sini.  Dia sekarang di Pandeglang. Kota kecil di ujung barat Pulau Jawa. Mencari titik cerah setelah kalah dari jejak hitamnya di masa lalu.

****

Di Pandeglang, 

Kota Santri Penuh Imajinasi.

Aku tidak tahu, kenapa merasa betah sendiri. Tujuannya ke sini bukan untuk menuntut ilmu seperti sekarang. Tujuanku untuk lari. Lari sejauh mungkin dari kenyataan pahit.

Terdengar dramastis memang. Kenyataanya begitu. Aku ingin jauh pergi dari luka itu. Atau bisa jadi karena si mata bulat itu. Pesona gadis Pandglang yang menggetarkan jiwa. Santriwati senior di salah satu pondok besar ini.

"Namanya itu Nurul Lembayung. Biasanya dipanggil Neng Nur. Bintang santriwati," Kata Asep padaku. Sudah banyak yang merindukan dan mengharapkanya tapi gak ada yang  berani. Bukan apa-apa, dia itu tangan kanan Ibu Hajjah Khadijah, isteri Kiai Haedar. Bisa mampus!

Itu kata mereka dan semoga tidak denganku. Di mataku manusia biasa saja. Aku malaha penasaran. Bila mereka tidak mampu bukan berarti gadis itu tidak bisa didekati. Mereka hanya segan. Tidak punya mental. Tidak punya kepercayaan diri. Ide gilaku, harus kenal dia. Harus pokoknya.

Entahlah. Aku tidak paham. Begitu cepat semua bergeser ke arah yang tak aku prediksi. Kini aku satu haluan bersamanya. Malam, aku rindu. Itu saja.

Kadupandak-pandeglang | 17 Juli 2017

***

Di temaram malam, Senja nama pemuda itu, terus menatap ladang yang baru saja ditanam tadi siang. Dia ikut berjibaku membantu. Hal yang baginya amat menyenangkan. Menyatu langsung dengan tanah sawah. Seperti Pak Tani, pahlawan pangan. Sesuatu yang amat mahal ditemui di kota metropolitan. Di mana-mana disuguhi kemajuan teknoigi mengikis rasa kemanusiaan. Orang lupa mana dunia nyata, mana dunia maya.

"Eh, kumaneh ngalamun bae. Hayu urang masak. Dasar anak senja." Ujar Kurdi.

"Siap Mang," katanya ngeloyor ke dalam pondok. Dia memang tidak bisa berbicara bahasa sunda tapi paham apa yang dikatakan. Tak lama keluar dan langsung melangkah ke dapur bersama Kurdi. Kurdi itu temannya sekamar. Selain baik juga perhatian. Dia yang memperkenalkan gimana budaya santri seperti apa. 

*** 

Waktu begitu cepat berlari. Purnama kedua puluh empat berputar. Nurul resmi sudah menuntaskan hafalan juga pengabdianya. Dengan berat hati dilepas dengan tangis cinta Ustazah Khadijah dan teman seperjuangannya. 

Tadi malam diadakan tafarukkan di majlis pesantren. Acaranya tak lebih hanya makan-makan ringan sambil bincang hangat. Dibuka tawasul dari Abah Yai dan restu kepadanya. Tepat di pukul 23.00 semua selesai. 

Besoknya Nurul dijemput Abah dan ibunya. Mereka memeluknya dengan penuh cinta. Ada air mata bangga di sana. Itulah hal yang membuatnya menangis haru. Tujuh tahun di pondok serasa baru kemarin. Dia pasti amat merindukan teman-temannya, gurunya, dan suasana teduh di pondok.

"Ibu dan Abah menjemput Nurul dengan mobil?" setahunya tak ada mobil sebagus itu di kampungnya. Mobil Pajero merek teranyar. Dia yakin pemiliknya bukan orang sembarangan. Yang buatnya penasaran, darimana kedua orangtuanya mengenalnya? Dan siapa? 

"Iya. Ayo Neng naik dulu nanti juga tahu siapa pemiliknya."

"Kenal?"

Keduanya hanya tersenyum simpul. Nurul dibuat penasaran. Benaknya menerawang siapa gerangan. Dan saat pintu mobil itu di buka, tiba-tiba ...

"Abang Senja?!"

Lelaki itu hanya tersenyum. Sesekali menatap kedua orangtuanya yang menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Ada skenario apa di balik kedekatan Abang Senja dengan orantuanya? Ribuan tanya menyeruak di kepalanya. Namun sepanjang jalan hanya diam tercipta. Entahlah, bagaimana dia harus bersikap? Hanya saja, sebelum masuk ke kampungnya ada janur kuning terpasang di sana jelas tertulis: Senja Kelana (Jakarta) & Nurul Lembayung (Pandeglang). (***)


Pandeglang-SetraJaya, 6 Juli 2022  

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar