Ketika Benci (Tidak Harus) Dibalas Kebencian Lagi

 
    
     
    Sering mendengar cerita orang-orang yang disakiti oleh orang lain. Mereka dibenci oleh sesuatu yang kadang dibuat-buat. Entah kenapa sebagai manusia biasa mereka merasa dilecehkan. Walau bagaimana mereka sama, baik di mata manusia atau bahkan di mata Allah.

Kalaupun jelas ada beda status sosial bukan berarti dibolehkan dibenci ditelanjangi harga dirinya. Dengan itu rasanya pantas kalau benci yang tertanam disanubari diujarkan dalam sikap dan perkataan.

Siapa tidak marah, dibanyak pasang mata dipermalukan. Okelah, untuk satu kali dua kali tidak masalah, kalau setiap saat. Tidak kenal waktu dan kesempatan, cacian atau entah apa saja dilontarkan apa itu layak?

Di mana jiwa sebagai manusia? Di mana nurani yang tertanam di bilik hati yang tidak ada noda lagi kotoran itu?

        Ini pula yang acapkali diteriakan Emak terkait masa kelamnya, masa di mana jiwanya terbelenggu dan fisiknya serius terpatri kekerasan tidak ringan. Cerita itu terus saja diulangg-ulang seolah kami baru tahu dan selalu lupa.
        Lama-lama ada gerutu di jiwa. Kira-kira begini,
   
        Apa sih mau Emak? Kalau itu beban dan semua luka masih ada, tidakkah dilupa atau dipahami sebagai ujiaan? Kalau berat, berusaha terus dipeluk agar tidak menjadi racun. Lama kelamaan hempas dimakan usia. Lapuk oleh masa. Oleh kekuatan raga. Tidak lagi menggempal menjadi sandungan menatap masa yang cerah. Memaafkan dan merelakan yang terjadi.

Angan dan harap saya begitu. Tapi tidak saya sampaikan. Saya takut Emak tersinggung. Pernah saya coba utarakan ganjalan di hati tetapi jawaban yang terdengar cukup menohok,
"Kamu gak pernah merasakan. Nanti juga merasakan bagaimana perihnya rasa sakit dihina, dicaci, dcemooh secara terus menrus," pungkasnya.

Jadinya saya bingung, mau jawab gimana. Tataran pikirannya bukan lagi logika tapi perasaan. Padahal namanya perasaan itu urusan selera. Tidak ada harga mati terkait itu. Sekali berbeda ya berbeda. Tidak bisa kita pisah atau satukan.

Di sinilah agak cemas. Apa yang diyakini orang tidak baik belum tentu bagi kita tidak baik pula. Ukurannya terletak pada bagimana mau melihat dari sudut pandang. Kalau kata aktivis pemikiran itu paradigma berpikir. 

Paradigma berpikir itu menyebabkan ke arah mana sikap dan tindakan kita. Kita mau marah atau tidak misalnya saat dimarahi orang, semua tergantung bagimana kita melihat. Letaknya bisa di akal dan hati kita.

Saat Nabi berdakwah ke Thaif, harapnya akan mendapat sambutan nan hangat. Karena bagimana di sana ada saudara dari pihak keluarganya, semoga dengan handataulan ada penghormatan, tidakpun menerima risalah yang dibawanya minimal bersikap dewasa atas ajaran yang di bawanya.

Akan tetapi, kabar burung dari kafir Quraiys lebih dulu sampai. Kabar memburukan risalah Nabi. Amat antipati atas apa yang Nabi dakwahkan. Maka karena itu, nabi dilempar batu, kerikil, dan apa saja oleh penduduk Thaif. Baik kecil maupun besar. Sampai Nabi bercucuran darah dan terluka cuku parah.

Sampai malaikat penunggu gunung di sana berkata,

        "Wahai nabiyallah, apa yang mereka lakukan itu berlebihan. Perintahkanlah saya untuk menggulung mereka semua agar semua musnah di mukka bumi. Sungguh, apa yang mereka lakukan sebuah kebodohan yang nyata," geram si malaikat jabal.

Lalu, apa yang keluar dari lisan Nabi yang puji alam sejagat ini. Sebuah jawaan yang menggetrkan langit dan relung jiwa nan keras hati.

        "Jangan wahai malaikat. Mereka tidak tahu. Kita tidak tahu, esok nanti bisa jadi anak-cucu turunanya akan menerima risalah ini dengan amat terbuka."  
Begitu tulus dan menggugah jiwa. Dan sejarah mencatat manis kata-kata itu apa yang terucap benar-benar menjadi kenyataan. Sekarang, dari kabar yang ada, hampir semua penduduk Thaif itu menerima Islam.

Masya Allah!

Kalau kita mau membuka mata dan menelisik lebih dalam ternyata Nabi sudah lebih dulu mengalami ujian yang maha dahsyat. Tidak hanya dicaci, dibenci, diteror bahkan disiksa fisiknya tapi lihat bagimana sejarah mengabadikan sikap nabi.

Paradigma berpikir Nabi sederhana, kalau dia telah menyakiti ya saya jangan! Bisa jadi kebencian itu luntur sepanjang sikap kita menerima dan berdamai dengan rasa perih itu. Sebuah tingkatan iman yang amat mempesona. Berangkat dari mujahadah yang tidak mudah.

Sayangnya sedikit Ummat-Nya memandang sikap Nabi itu dari sisi lain yang lebih mengarah kepada keutamaan seorang utusan Allah bukan seorang manusia. Padahal Nabi juga memiliki sifat arad baasyariah artinya sifat kemanusiaan.

Sifat manusia yang bisa marah. Bisa emosi. Bisa melakukan hal negatif atau positif sekalipun. Tapi Nabi terjaga dari sifat negatif. Kenapa? Selain atas karunia Allah juga ingin memberi pelajaran bagi kita ummatnya bahwa semua hal pahit bisa manis asal kita mau merubahnya.

Untuk itu jelas al-Qur'an menginformasikan sebelumnya pada kita bahwa dalam diri nabi itu, ada suri teladan baik untuk kita teladani. Sebuah teladan yang layak untuk dihatati dan benatr kita aktualisasikan. 

Untuk itu, kalau kita terus meletakan sikap dan akhlak nabi "di langit" kiranya siapa yang akan menggapai tingginya teladan itu. Sedangkan risalah nabi itu diperuntukan untuk seklain mahkluk di alam mayapada agar bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam. Kalau bukan kita yang bangga dengan Nabinya, kiranya apa mereka yang belum beriman akan bangga pula? [***]

Komplek Cigadung - Pandeglang, 10 Juli 2022 / 10 Dzulhijjah 1441

Posting Komentar

0 Komentar