Lebaran Tak Seindah Kata-kata yang di Share


__
Hore! Lebaran tiba juga. Setelah menanti dengan perjuangan dan pengorbanan,  tidak hanya satu bulan, menyapa kepada sekian kaum muslimin. Memberi keceriaan, kebahagian dan mimpi. Di mana saja dan pada siapa saja. 

Mungkin saya saja merasa agak lain di hari raya ini. Sesudah isya berjamaah, riungan di Masjid, dan pulang dengan rasa lelah. Badan tidak karuan. Makan tanpa terkontrol. Tertidur dengan kegelisahan. Tulisan pun tidak rampung. Menggantung seperti mimpi-mimpi saya. 

Di subuh tadi munfarid saja. Tapi hari raya harus ceria. Harus semangat. Harus membagi senyum. Meski pura-pura. Apalagi ada janji dengan dia di sana, yang katanya tidak merasakan rindu apa-apa. Tidak spesial sekali ya, saya? 

Ho ho ho. Padahal udah komitmen untuk tidak kontekan. Biar hangat hubungan dan makin mesra. Hasilnya biasa saja. Entahlah, kadang saya baperan gini. Berharap memang harus ke Allah bukan dia. Haha.

Badan saya yang kurang baik itu disempurnakan dengan "Tolak Angin Cair" biar gee-er. Baju kemeja dan sarung merah tua menanti dengan khidmat. Mereka menunggu kapan dibawa ke Masjid. Mereka titipan dari mereka yang dermawan. Kupakai dengan kebanggaan. Syukur pada-Nya.

Jarak dari rumah ke Masjid tidak jauh, sekitar 10 meter. Kamu berjalan lurus menuju barat, di sana Masjid kebanggaan warga kami berdiri gagah. Aku belum tahu sejak kapan Masjid Al-Ikhlas dibangun. Setahuku sudah dari dulu sudah begitu. Sekali pernah menyaksikan dipugar dan beberapa kali di renovasi. Bisa menampung sekitar 1000-an jamaah. 

Imam dipimpin Ustadz Hifni dan Khutbah disampaikan oleh Ustadz Epi; yang agak berbeda ada sesi tertentu beliau menangis. Tersentuh jiwa saya. Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ada yang saya tahu dan banyak tidak tahunya, sih, terkait isi khutbah itu. Kalau di muqaddimah terdengar "segala puji bagi Allah yang menghalalkan makan di hari ini dan mengharamkan puasa, bla-bla.."

Di hari lebaran aku bingung mau apa; buku-buku makin menggoda, bahan tulisan menumpuk, daftar silaturahmi menumpuk, dan seabreg aktivitas. Aku bingung dengan kebingungan ku. Zarah mungkin ke makam kakek yang buatku termenung:

"Rasanya kemarin kau di sini kek, tersenyum dan menasehati. Tidak henti mengingatkan untuk jadi hamba yang tahu diri. Mau belajar tahsin Al-Quran dengan baik dan berusaha mengamalkan ilmu semampunya. Kini kau kek, telah nyaman di sana, tidur dengan kehangatan bumi dan keridhaan langit. Menatap masa yang abadi."

Aku pun melihat makam Abah Haji Rasyidi, sesepuh kami. Sosok yang muram senyum dan cukup  tegas. Aku banyak belajar dan sering memperhatikan amaliah-nya sewaktu hidup. Aku bisa membaca al-fatihah washal darinya dan berani jadi Bilal taraweh.

Aku ingat di Kitab Al-Adzkar, Imam Kurtubi menjelaskan hadits, kuburan muslim baik dan bertetangga dengan muslim baik lagi maka ia akan bahagia. Sahabat nabi ada yang heran, kok bisa? Ya bisa, apa saat kita di dunia memiliki tetangga baik itu bahagia? Kalau bahagia, begitu juga di alam kubur. Pun sebaliknya.

Aku pun bahagia melihat kuburan "bapak kolot" dengan Abah Rasyidi. Keduanya aku saksikan baik di dunia dan termasuk ahli Masjid aktif. Di dunia mereka berdekatan dan semoga di alam sana pun berdekatan pula dalam rahmat-Nya. 

Sepanjang kuburan ramai orang berziarah. Penghuninya hanya diam. Diam membeku menyaksikan keluarga mereka. Mereka tahu dan kita tidak. Benar kata Nabi, aku tinggalkan dua perkara pemberi nasihat yang bicara dan diam. Itulah Al-Quran dan kematian. 

Sudahkah kita menyadarinya? Atau barangkali pura-pura lupa yang "nyata itu" sinyal Izrail dan yang "gelap"  itu kesuksesan yang kita harap siang-malam. 

Di Magrib tadi aku shalat di Masjid Agung Ar-rahman. Dekat alun-alun kota Pandeglang. Masjid kebanggaan kota kami. Tempat singgah dan melepas lelah dari kenyataan: di sana bersujud dan munajat pada pemilik semesta. Aku di sana, bersimpuh memohon taufik-Nya.

Ramai sekali. Anak-anak ceria shalat dan dibopong ibunya; yang khusyu shalat; darah muda yang cerah; semua sibuk dengan aktivitasnya. Aku dengan dua bocah manis di belakang jadi saksi keramaian hamba-hamba yang tengah melepas rindu pada pemilik semesta. Mereka singgah untuk mengecup dahaga dari cahaya iman.

Sepanjang pulang hujan mengguyur bumi Pandeglang. Gelap sekali. Sesekali petir terdengar. Ini gelap dunia yang masih ada cahaya, maka bagaimana gelapnya mereka yang belum tersinari cahaya iman di dada? Seperti apa cahaya mereka di alam sana, yang bekalnya tak sebanding dosa-dosanya?

Aku merasa berdosa di hari raya ini, belum bisa meniru akhlak cemerlang nabi. Belum sesempurna beliau. Ada banyak (mungkin) hati yang aku sakiti. Jiwa yang tergores kesal atau luapan rasa yang tak kupahami.

Kalimat maaf telah aku obral--di share ke mana-mana-- siapa yang tahu isi hatinya bagaimana dan ada apa. Benarkah tulus? Benarkan demi ridha-Nya? Apa  mungkin hanya sekedar iseng belaka.

Ah, lebaran kali ini aku merasa dewasa kembali. Menyongsong syawal yang cerah. Meski besok mungkin langit tidak selamanya cerah, tak apa. Setidaknya aku sudah menemukan cahaya di malam ini. Selamat hari raya Idul Fitri 1444 untuk pembaca. Mohon maaf lahir batin atas semua tulisan saya. Sampai ketemu di bulan baru, di tanggal dua Syawal. Semangat! (***)

Pandeglang, 23 April 2023   01.48

Salam Santun,

Mahyu An-nafi, Anak Emak yang dikejar Mimpi

Posting Komentar

0 Komentar