Semasam Wajah Tadi Siang

__
Kalau ketemu orang dengan wajah masam, gimana perasaanmu? Kita sudah berusaha untuk senyum semanis mungkin, eh responsnya bikin hati keki dan jiwa muak. Kalau kamu jujur, begitulah yang aku rasakan ketemu dia dan mereka. 

Ceritanya tadi aku santai bawa motor terus melewat, ya sesuai tatkrama di kita, klakson sambil tersenyum. Senyum belaga manis gitu, ya pada sibuk dengan aktivitasnya. Sebagai manusia aku pun sebal, sebal soalnya sudah bertulang terjadi. Oleh dia dan mereka.

Makanya, kalau lagi malas aku nyelonong saja. Gak klakson dan gak senyum. Muka datar. Mungkin kamu bilang aku tidak sopan? Ya terserah, orang mereka juga sering begitu.

Di ruang sosial itu kadang kita bingung--mungkin hanya aku ya-- agama dan budaya mengajarkan tentang adab. Adab ini menuntun pada kontruksi sosial sehat. Sejauh dulu, para tetua kita sudah selangkah lebih maju mengajarkan untuk generasi selanjutnya.

Apa aku marah dengan respon mereka dan dia yang masam itu? 

Tidak sama sekali. Aku hanya sebal kepada diriku. Diriku yang belum juga menerima kenyataan. Diriku yang mau berlatih menata diri. Sebaik-baik hamba bukankah dia yang tahu diri, ya.

Aku belajar untuk tahu diri. Biarlah mereka se-asem itu, tapi aku jangan. Tak boleh. Meski sesebal apa pun. Bukan soal mereka tapi soal pengendalian diriku saja.

Mungkin kamu ingat, Nabi pernah berpesan "bahwa orang kuat itu bukan mereka yang kuat fisiknya tetapi mereka yang kuat menngelola diri saat marah". Itu teladan banget. Bahkan di saat kesempatan lain, Nabi melihat Abu Bakar dicaci maki. Namun saat sahabat mulia itu bersabar.

Satu kali sabar. Dua kali sabar. Nabi pun dibuat tersenyum. Akan tetapi, saat dicaci ketiga kalinya Abu Bakar balik mencacinya. Sahabat mulia itu manusia pula; bisa sebal juga marah. Sayangnya, Nabi tidak bekenan. Wajahnya berubah tidak suka.

Sahabat mulia itu langsung bertanya kepada Nabi atas perubahan sikapnya, maka Nabi pun menjawab dengan kasihnya, "Saat engkau dihina lantas bersabar, aku melihat malaikat mendoakanmu. Aku pun tersenyum. Akan tetapi saat kamu membalas caci maki itu, para malaikat berhenti mendoakanmu. Pergi dari hadapanmu,"  begitu sabda Nabi Muhammad saw. 

Dari sini, aku belajar untuk menerima dan memahami ke-asem-an sikap mereka. Bisa saja mereka tengah tak melihatku, disangkanya aku bukan manusia. Ada suara tapi mukanya di mana. Hikh! 

Atau mereka tahu aku menyapa tapi malas melihatku, mungkin aku terlalu ganteng atau mungkin terlalu ke gee-eran. Mereka maklum makanya kasihan. Baru punya muka pasaran aja sudah sombong apalagi nanti jadi bos di Pasar, walah-walah, repot Dinda!

Satu lagi, teguran untuk aku diri. Diriku siapa, siapa diriku. Diriku bukan dirinya, dirinya bukan diriku. Dirimu bukan dirinya, dirimu mungkin dirinya. Bergitulah kurang lebih.

"Ini yang aku suka darimu," kata Bu Guru Manis. 

"Aku juga," kataku.

"Ke aku maksudnya?"

Tidak aku jawab. Tahu sebabnya? Karena dengan tidak menjawab dia nanti rindu. Seperti mereka yang dimabuk oleh cinta Ilahi. Siang-malam tadabur ayat-ayat-Nya. Lisannya lembut oleh ihsan. Hatinya kaya oleh dzikir. 

Terima kasih yang suka masam, maaf aku belum bisa membantu untuk merubah parasmu dengan senyum manis. Sekarang, aku baru mampu menghadirkan senyum pada orang benar mencintaiku. Bukan pada siapa yang belum mau mengenalku. Nanti-nanti Insyaallah, semoga kamu bantu memudahkan. Oke.  (**)

Pandeglang | 25 April 2023    21.52

Posting Komentar

0 Komentar