Tentang Laki-laki Itu


"Kamu suka dengan laki-laki itu?"

"Suka?"

"Ya, suka. Untuk apa kamu tiap hari chat-an kalau tidak memiliki rasa."

"Hemm, aku tidak tahu. Kalau sama dia nyaman aja. Entah kenapa."

"Apa karena dia ganteng ya," sambil mengedipkan mata.

"Apaan sih, udah ah. Aku mau mengulang hafalan ini, nanti keburu ada Bu  Nyai."

Laki-laki itu, heem ya. Aku tidak tahu apa dengan diriku. Obrolan dengan Arini tadi siang memang ada benarnya. Aku mungkin sudah suka? Mungkin jatuh cinta?  Atau sudah terlanjur sayang. Masalahnya aku tidak tahu, apa yang aku rasakan sekarang.

Laki-laki itu baik, perhatian, pintar, agak mudah murah dan mudah reda juga. Itu yang aku tahu. Kutemukan dari tumpukkan mana di sana, malu mengingat saat ketemu.

"Kakak penulis ya," kataku.

"Bukan penulis, mungkin suka nulis. Kalau itu benar. Ada apa?"

"Gak apa-apa, kak."

"Salam kenal ya."

"Kan, belum kenalan kak?"

"Oh iya. Haha. Aku merasa kenal soalnya."

Itu masa yang paling mendebarkan, masa di mana aku belajar mengenal hatiku. Kian lama makin dekat, aku pun terpikat. Dia mengajarkan agar aku lebih dewasa. Mau memperbaiki sikapku yang kekanak-kanakan. Selama ini aku memang terlalu dimanja, tentu tahu ada sebab kenapa begitu.

Dia paham itu setelah aku cerita. Keluargaku berhati-hati bersikap kepadaku. Secara tidak langsung menjadikan aku "sedikit manja". Aku seperti ratu kecil. Dibelai oleh kasih sayang. Lama-lama aku tersadar dari belajar bahwa sikapku salah. Manusia harus berkembang dan tak selama terus begini.

Saat bapak marah-marah, aku sering terperanjat kaget. Begitpula saat temanku mengejek juga dimarahi Bu Guru. Dunia serasa kiamat. Hatiku terluka. Tapi aku harus belajar, berlatih. 

Kini, berkat anjuran laki-laki itu aku belajar untuk lebih dewasa. Dewasa ternyata proses, begitu katanya. Kalau siang ditinggal sendiri aku mulai berani, malam pun berusaha berani. Aku pun mulai tidak mudah ngambek apalagi merajuk, mengurung diri di kamar. Sudah bukan saat lagi.

"Berubah itu butuh waktu. Jangan dipaksa apalagi tertekan. Biarkan mengalir alamiah," katanya di suatu malam.

Sungguh, aku mengaguminya. Aku tidak berani mengaku cinta apalagi sayang, biar dia saja. Bukan, bukan tidak mau hanya saja segan. Mungkin dia bisa kecewa atau entah pergi, takut sih, tapi aku juga merasa belum pantas merasakan ketulusan cintanya. Meski ingin dan mau.

"Apa kamu suka sama laki-laki itu?"

Intinya, aku selalu tersenyum mendengar nama dan chat-an dengannya. Di mataku dia sempurna. Meskipun aku tahu kekurangannya dan mungkin banyak lagi. Bukankah aku juga punya kekurangan? Bisa jadi lebih darinya. Aku pikir itu lebih adil daripada melihat orang hanya dari kekurangannya saja. 

Arini benar, laki-laki itu harus tahu rasaku seperti aku tahu rasaku. Aku harus berani jujur seperti dia jujur. Aku gak boleh diam saja. Bukankah banyak pakar bilang, cinta itu kata kerja. Kamu gak bisa diam, diam bisa jadi membuat dia bosan dan lari ke hati lain. 

Laki-laki itu benar, untuk apa takut. Cuma ikhtiar. Diam beresiko, berani punya resiko juga. Sama saja. Setidaknya dengan membalas kita saling menghargai. Menghargai perasaan. Bukankah aku juga ingin dihargai ya?"

"Dedek, udah malam. Tidur!" Seru si Mbak di luar kamar.

"Iya, Mbak. Ini mau."

"Mau melanjutkan melamunkan laki-laki itu ya," ejeknya di luar sambil tertawa.

"Apaan sih mbak, orang lagi nulis."

"Nulis? Sejak kapan adik Mbak rajin nulis? Jangan-jangan.."

"Ah Em-Mbaaak!!!"

Greget sekali aku. Rasanya senang sekali mengejek adiknya. Iya, iya, aku sayang dia. Terus apa urusannya? Maksudku biar aku saja yang tahu, yang lain nanti saja. Tapi kenapa harus aku emosi coba, bukankah itu sinyal Mbak memberi izin. Ah, sudahlah. Pengen bobo. Eh kamu, tahukan sekarang? Cie.  (**)

Bukan di Pandeglang    27 April 2023    22.00

Salam dariku,
pengaggummu

Posting Komentar

0 Komentar