Kristen Muhamadiyah dan NU Cabang Kristen Itu (bukan) Sinkretisme

Bedah buku yang isinya lagi booming (sum. Liputan6)

Kristen Muhamdiyah sedang menjadi perbincangan khalayak di ranah maya. Banyak yang masih bingung apakah itu bentuk "agama pencampuran" pada akhirnya kehilangan kesakralannya. Agama yang seharusnya tetap murni kembali diwarnai istilah yang kontradiktif.

Sebelumnya mencuat istilah Kristen Muhamadiyah di ranah maya. Banyak yang spekulasi itu bentuk sinkretisme, sebutan penggabungan agama-agama sehingga agama kehilangan kesakralan. Dalam konteks ini, Islam dan Kristen berbaur pada satu bentuk, dan bisa saja meleburkan bangunan kesuciannya. 

Sebenarnya, tidak hanya Muhamadiyah geger, NU sudah lebih dulu mendapatkan sorotan dengan "program" NU cabang Kristen. Ini pun menjadi diskursus panas sehingga tidak hanya kecaman juga mengarah pada penghinaan pada ormas terbesar di Indonesia ini.

Tuduhan sinkretisme tidak lepas jadi luapan kekesalan pada mereka yang memang kurang suka dengan "tokoh NU" bukan NU itu sendiri. Padahal sebelumnya, baik petinggi NU-Muhamadiyah sudah mengoreksi bahwa tidak ada sinkretisme dalam istilah itu. 

Istilah itu hanya istilah mewujudkan toleransi beragama juga wujud bhineka memang nyata adanya. Tetapi dalam prinsip agama tetap memegang apa yang sudah baku diyakini. Yang diperjuangkan nilainya bukan pencampuran ajaran ibadahnya.

Namun nasi sudah jadi bubur, pro-kontra tak bisa dihindari. Mau tidak mau inilah dinamika pemikiran di tengah negeri majemuk. Mungkin bagi satu kelompok ini jadi hal yang fatal, mungkin bagi yang lain tidak ada soal. Barangkali bagi pihak penengah agak lebih hati-hati juga cukup jeli merespons perdebatan ini.

Sementara orang, berasumsi entah itu Islam Nusantara, Kristen Muhamadiyah bahkan NU cabang Kristen arahnya jelas sama, untuk sinkretisme agama. Padahal dalam agama sudah jelas ada batas baku yang tak boleh dikotori oleh istilah baru yang kadang semu. 

Mungkin tujuan baik, lantas bagaimana kalau disalahgunakan. Kalau disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu siapa yang mau bertanggungjawab. Tidak hanya di dunia, di akhirat sana lebih besar lagi? Niat baik saja tidak cukup tanpa implementasi nyata.

Sebagian mereka yang memang menggandrungi istilah yang heboh itu melihatnya biasa saja. Tidak ada yang aneh sih, yang aneh kalau di persoalkan. Bukankah tujuannya sudah jelas untuk mengejawantahkan prinsip dan nilai luhur agama dan bangsa tentang toleransi lagi damai. Agama biar jadi semangat kebersamaan bukan kebencian. 

Tidak usah takut dengan apa yang sudah nyata berbeda. Satu sama lain agama mengajarkan kebaikan meskipun klaim kebenaran berbeda. Sudahi itu, sudah jelas, sama-sama tahu pula. Adapaun terkait oknum yang mengatasnamakan bagian tubuh ormas biarlah, nanti ada sanksi internal juga koreksi dari masyarakat. Singkatnya, tak ada yang perlu ditakuti.

Di antara kedua ini, ada yang ingin mencari aman. Inilah asumsi yang netral dan mengaku obyektif. Di pandangan mereka, gagasan Kristen Muhamadiyah dan NU cabang Kristen selain dipandang bagian dari dinamika pemikiran, tergantung menggunakannya juga; apakah dibawa pada hal negatif atau negatif.

Dinamika ini menarik bagi mereka yang punya dasar pemikiran Islam yang cukup, bagaimana pun ini peluang mendakwahkan nilai Islam yang lentur, namun punya sikap yang tidak memble terhadap kenyataan sosial. 

Fleksibel tidak selalu relevan untuk mereka yang awam, ini  harus hati-hati. Bagaimanapun pemikiran takut menyesatkan pada keraguan agama yang kurang ketegasannya. Bisa log it dari ajaran agama yang hanif ini. 

Lepas dari asumsi-asumsi di atas, semua kembali pada sekalian pembaca mau melihatnya dari sudut pandang yang mana. Sekarang kemajuan teknologi dan informasi cukup sudah memanjakan kita, barangkali ada saja pola pikir kita yang harus  digeser atau ditingkatkan agar lebih responsif terhadap kemajuan zaman. 

Kita beragama tetapi tidak ketinggalan arus pemikiran dunia sekarang, kita berislam tetapi tanggap dengan perubahan iklim juga global. Silakan kamu pilih dan mikir, kalau belum paham silakan komentar. Kalau gak mau, terserah. Asal jangan ngajak ribut aja, aku belum sabuk hitam. Nanti aja, ya. Haha. (**)

Pandeglang,  31 Mei 2023    10.25

Posting Komentar

0 Komentar