Bio coretan Harian

Bingung mau nulis apa. Giliran diam ide muuncul. Saat ingin ditulis lari entah kenapa. Lebay banget. Mungkin menarik menulis hal yang diketahui orang, misalnya terkait tulisan yang mengalir.

Saya itu sering takjub membaca tulisan orang yang kata-kata mengalir. Meski bukunya tebal tapi menarik untuk direnungkan sehingga tidak merasa jenuh. Tulisannya itu sudah macam bicara aja, mengalir tanpa hambatan. Seolah kata-kata telah menjadi dirinya. Kadang sampai berpikir gimana caranya sampai bisa gitu, kalau bisa saya juga ingin. Lumayan bangetkan.

Apa ini karena efek menulis di hape? Gak tahu juga. Kata orang, menulis di laptop atau komputer itu lebih enak dan nyaman, gak macam di hape yang sering buat panas dan kebas jari. Kalau di sana itu bebas dan ide mudah sekali disaring. Pastinya itu memberi produktivitas pada karya. Soalnya membantu.

Tapi kan gak ada, yang ada hanya hape. Kalau nunggu laptop mau sampai kapan. Dagangnya aja sepi, pemasukan tak ada, eh simpenan jua lagi nipis. Mana pula beli barang mewah. Apalagi cepat menghalalkan dia, mana bisa, sulit secara logika!

Alangkah baik kalau gunakan yang ada. Sembari menunggu yang ideal tetap menulis, nanti harapan itu ditanam aja. Gak usah ragu dan cemas. Dibawa slow aja. Bisa jadi kan efek menulis di hape bisa dapat laptop atau komputer, ya namanya rizki siapa yang tahu. Yakin dan tetap tawakal aja. 

Meski saya akui ada ambisi yang selama ini tetap menggelora, tak lain terkait materi. Bagaimana caranya mengeruk materi yang katsir yang mudah tapi menjanjikan gitu. Terdengar klise memang, tapi nyatanya gitu. Saya, jujur saja malu dengan pikiran itu. Bisa-bisanya punya pikiran picik gitu. Padahal segala sesuatu harus ada usaha. Dan usaha itu yang menuntun pada hal yang diharapkan. 

Tulisan ini sih iseng aja menjelang tidur. Dari pagi gak nulis. Jangankan seribu kata, seratus kata aja di cek seolah udah berapa aja. Dimana letak kreatifnya. Menulis kok itung-itungan. Padahal kesuksesan diraih dengan usaha.

Apa kata emak tadi ingin jualan kopi di Pelabuhan Merak dan gorengan. Lumayan katanya, sekali ngopi lima ribu. Apalagi kalau punya langganan, wah menjanjikan sekali. Entah emak ya, sudahkan memikirkan hal negatif di sana. Jualan di jalanan itu berat. Apalagi ini Pelabuhan yang banyak disinggahi banyak orang dan itensitas yang sibuk. Belum lagi konflik dengan pedagang yang dulu sudah ada pastinya merasa tersaingi. Apalagi kalau pindah langganannya pasti tambah seram aja ceritanya. Ah emak, ada-ada saja.

Saya paham kenapa emak berpikir begitu berharap dengan pendapatan yang bisa menunjang pemasukan. Ada uang tambahan yang bisa meringankan beban. Lalu saya jelaskan mereka yang ekonominya mapan--menurut kebanyakan orang-- aslinya beda. Secara ekonomi memang mapan dan cukup, tapi tidak tahu secara moril dan spiritual, apa mapan juga? Tentu tidak tahu acapkali dia pun punya problem yang berbeda pun tak kalah rumit. Hanya saja dia sudah "mapan" secara dompet dan gak kuatir sama nasib ke depan, makanya dibidang itu dia ungghul. Tidak tahu kalau di bidang lain. Inilah pentingnya membangun nasib yang punya potret manis. 

Saya juga tertarik dengan pemikiran Barack Obama di bukunya, bagaimana sikap kita harus jernih melihat sesuatu. Tak hanya modal hal formal sedang banyak yang formal itu klise. Bagi saya bagus, rasany pantas untuk menggebrak hal yang negatif. Ternyata ada loh anak mantan yang baik dan tiap hari memberi, di sisi lain ada yang ditakutkan, apakah sama dengan legenda yang cuma diam.  Ya sudahlah. Wallahu 'alam. []

Posting Komentar

0 Komentar