Ketika Tak Sesuai Harapan


_________

Apakah ini salahku yang terlalu keras kepala dengan harapku? Apa ini karena aku tidak mau percaya dengan langkahmu yang konyol itu? Bisa jadi ini resiko yang aku ambil karena tak mau memperjuangkan rasa yang tumbuh di hati kita. 

Kamu tahu, ini sungguh tidak enak. Aku menelan pil pahit kehidupan di sini, sendiri, sunyi tanpa ada yang mau menyapa. Kupikir ini pantas aku dapatkan sebagai bentuk baktiku pada ibuku, sosok yang selama ini menemaniku. 

Aku tahu kamu pun merasakan dan memahami apa yang aku rasakan, aku putuskan. Ibuku belum memberimu restu karena kamu yang kurang serius dengan hubungan kita. Apa katamu, lebih baik kita meninggalkan orang tercinta dan pergi pada harapan baru. Artinya, kamu menganjurkan aku meninggalkan ibuku sendiri hanya demi rasa yang kita miliki. Apa itu bukannya pecundang, ya? Kita lari dari kenyataan yang ada dan berhenti peduli pada rasa orang tersayang. Bodoh sekali. 

Kamu pikir aku tokoh lebay di novel-novel itu, hah! 

Tidak, aku punya logika. Dan aku pikir mengejar kebahagiaan tak harus menyakiti yang lain. Kita bisa memilih mana yang terbaik bagi kita, kita pun bisa memprediksi resiko yang mana kiranya baik untuk kita. Tak bisa kita menjalani apa yang terjadi seumpama air mengalir sebab tanpa kita sadari itu tandanya kita tak punya pendirian. Padahal dalam hidup orang yang tak punya pendirian mudah sekali terbawa arus, terombang-ambing ombak kehidupan.

Tapi aku rindu. Bagaimana pun kamu, tetap saja tak mudah men-delet rasa yang telah tumbuh. Rasa ini telah mengguruta dalam jiwa, dan aku pikir aku tengah mabuk di lautan rasa. 

"Ibu tahu, tak mungkin anak Ibu bisa mengurung diri seperti ini. Pasti ada sebabnya." Kata yang sejujurnya mengagetkan. Walau tak seharusnya begitu, ibu selalu lebih tahu tanpa aku aku pahami. Mungkin naluri keibuan yang menuntunnya.

"Hmp, ya... biasalah masa muda Bu."

"Boleh Ibu tahu, mungkin Ibu bisa meringankan jiwa anak tercinta Ibu. Ibu kok kehilangan anak cantik Ibu..." gurau Ibu yang lekas saja menghilangkan cemas di jiwa.

Aku tak punya pilihan, aku ceritakan semuanya pada Ibu. Apa yang aku rasa, apa yang kamu mau, apa yang akan kita pilih, dan bagaimana aku bersikap. Sesekali Ibu tersenyum selebihnya khusyu mendengarkan. Ibu tak menyangka kalau anak semata wayangnya tersekat oleh dunia asmara. Dunia yang melalaikan sekaligus menerbangkan angan. Mau apa lagi, toh itu kenyataan yang juga dialami oleh siapa saja.

"Bagaimana menurut Ibu, apa keputusan saya baik?" 

"Ya, itulah jawaban anak baik yang berbakti pada orangtua. Meksipun kamu punya kesempatan untuk ingkar dan melalaikan semuanya. Tapi tak kamu lakukan. Ibu bangga dengan keputusanmu, Nak. Saat di mana kebanyakan anak tak menghiraukan nasib dan rasa orangtua, fokus pada apa yang diharapkan, kamu berbeda. Mereka pikir itu baik padahal awal bencana," katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku cium wajah ibu dan terus merekatkan pelukan di tubuh yang tak lagi kuat itu. 

Ibu pun melanjutkan, "teruslah melangkah. Jangan takut. Jangan pula merutuk nasib. Keluar dan jalani hidup apa adanya. Terima resiko dan yakini apa yang telah kamu putuskan. Ibu restui langkahmu dan Ibu doakan Allah mudahkan kamu dihalalkan oleh lelaki terbaik." Aku tak bisa menahan tangis mendengar nasihat Ibu. Plong sudah beban jiwa!

***

Sudahlah, semua telah berakhir. 

Kita hanya bisa merencanakan dan menata apa yang bisa kita lakukan. Aku tak membencimu dan tak menyesal pernah singgah di hatimu. Ini mungkin jalan hidup  yang harus aku jalani, tetap menjalani dengan restu Ibuku...

"Selamat ya. Semoga SAMAWA," kataku pada pasangan itu, sosok yang pernah singgah di hatiku.

"Iya, makasih. Kamu juga." Jawab lelaki itu dengan sorot mata yang tak bisa kulupakan. 

Tak menyangka, tapi itulah takdir. Akupun pulang dari walimah itu dengan bahagia turut terasa. Ada teman- yang pada hadir. Aku sapa sewajarnya. Walau bagimana, aku tengah ditunggu seseorang. Aku tak mau mengecewakannya.

"Kenapa senyum begitu," kata pria di sampingku saat menaiki mobil.

"Ingat masa kita, kak!"

Dia hanya tersenyum, sosok yang telah lebih menemaniku sepuluh tahun ini dengan tiga buah hati yang lucu lagi pintar. Aku peluk tubuh kekarnya dan ia kecup manis keningku. Ya Allah, jaga dia dan satukan kami selalu dalam ridha-Mu. (*)

Pandeglang, 1/7/2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar