Nur dan Kisah Zaman-nya

Namanya Nur Zaman. Sosok biasa dan sering luka. Dia laki-laki yang terbiasa menggores kata di ranah maya. Hingga di bulan ke berapa, dia juga lupa, ada hati yang menyepa. Hati yang dicampakan keadaan, hati yang teiris menjadi luka, terpesona oleh kata. Nur pun terkaget sekaligus berbangga, karena goresannya memiliki jiwa hingga menyentuh jiwa yang merana. Sama seperti jiwanya yang sering hampa oleh harap pada dia yang entah tak peka.

Nur jalani saja dan hati itu pun jua. Hari dihabiskan di maya. Curhat di saja. Saling hibur dan ejek di sana. Di maya bermula dan di sana hiasi hari bersama. Kata orang khayali, tapi terasa sama dan memang ada. Ruang tak lagi beda, sekat apa hanya soal keyakinan. Dunia itu yang tumbuhkan hati mereka.

Nur kadang ragu. Kadang pula cemas. Apa rasa yang dia miliki benar, apa yang dia harap itu pantas. Kan hanya di maya, itupun bermula dari coretan biasa, bagaimana kalau nanti berbeda. Apa itu akan sama seperti harapnya?
Di lain Nur memahami, bisa jadi kisah tentangnya yang berbeda. Memiliki hal istimewa dibanding mereka yang biasa punya cerita perihal cinta. Kisahnya bukti cerita di abad yang berbeda. Ini masa tentangnya. 

"Apa kamu yakin dengan rasamu Nur?"

Tentu saja. Itu jawabnya pada dia. Kalau tidak yakin untuk apa buang waktu di maya. Untuk apa mengikat janji apa yang ada. Kan sudah nyaman, apa tak ada lagi selain harga sebuah rasa itu?

"Kalau aku berbeda, tak sama dengan apa yang di foto, apa kamu mau menerima?"

"Kalau aku yakin, apa alasan aku menolak. Seperti aku ragu, kenapa harus menerima. Karena aku tidak tahu, rasaku akan mentep di mana sejatinya. Toh aku hanya tengah berusaha mencari, aku harap kamu pun demikian memahami."

Nur pun tambah memahami bahwa tak mudah menjalani hubungan tanpa ada wajah asli. Harus ada bukti. Manusia tempatnya ragu, kadang ada juga meragukan keberadana dirinya. Di fase tertentu meragukan keberadaan Penciptanya. Miris dan cukup mengerikan.

Lagi Nur tesadar, mungkin inilah masa saat orang membuka paham bahwa cinta selalu mengikuti zaman. Memang ceritanya begitu-gitu saja, namun karena tokohnya berbeda, warnanya pun berbeda juga. Ini yang menarik perhatian. Bisa jadi hukumpun ikut jua berbeda. Karena masa punya kriteria yang berbeda. Bentuk konsistensi kehidupan. 

Untuk itu, Zaman menulis surat pada semesta. Mungkin untuk menguatkan hatinya yang mudah rapuh dan sering kali terluka. Begini rupanya...
---

Marsa di sana
_______________

Saat kamu baca surat ini, mungkin aku tak ada di sampingmu. Mungkin kamu pun sama ragu denganku, kita masih menanyakan apa yang belum terbuka. 

Jujur, aku sudah nyaman denganmu. Entah apa alasan terbesarnya. Hanya saja aku merasa menemukan mutiara yang terpendam. Memang terdengar mendayu, tapi melihat sosokmu dan keperibdian yang aku tahu benar adanya. Tak mudah menemukan itu. Sekalipun maya, engkau serupa ada di depan mata kepala.

Untuk itu, Marsa, kita harus bisa lagi menumbuhkan apa yang akan baik untuk masa depan kita. Kita hanya manusia  biasa tengah melangkah menyusuri Zaman. Katamu namaku bagus, namun tak sebagus nama yang tak diwarnai. Dan warna itu kamu!

Maka aku mohon, mari jalani dengan percaya dan kata mesra buahnya. Tak usah lagi kita perdebatkan jarak, karena sejauh apapun jarak, jika yang Kuasa takdirkan bersama tak akan ada harus ditakutkan. Cukup segini ya, semoga kamu paham.

____________
Pandeglang,  21/7/21
_

Dari Seseorang, 
Perindmu



Posting Komentar

0 Komentar