Wanita Kerja, Prinsip, dan Komitmen

Uang itu suatu kebutuhan. Dimana kita tinggal, tak peduli tempat ia telah menjadi satu hal yang fudamental dimiliki, diperbanyak, dan dikumpulkan. Tak ayal dunia modern punya istilah keren, time is money katanya. Menyebar ke pelosok dunia hingga menjadi jargon fenomenal-- membuat latah bibir yang baru menemukan kosa kata asing.

Hal itu berefek pula pada pintu rumah tangga yang 'memaksa' kaum Ibu turun dari lembah peraduan ke jagat persaingan dunia usaha. Saya tidak tahu apakah kelak istri saya pun demikian. Tentu ini bukan rasionalisasi atau emansipasi yang merebak di kalangan kaum feminim. Faktanya wanita kerja itu tak masalah, yang menjadi perhatian adalah kalau nanti punya anak pola pendidikan akan diserahkan pada siapa. Sebab ada banyak penelitian terkait terbengkalai nasih anak karena orangtua fokus pada perekonomian keluarga, tetapi kehilangan kehangatan, pelukan emosional, perhatian, dan sahabat yang bisa memahami pergolakan jiwa anak. 

Tak ayal angka kejahatan yang ditorehkan anak-anak cukup tinggi karena kurang pendampingan dari orangtua. Kita tak bisa menyalahkan siapa. Semua telah telah terjadi, tinggal bagimana ke depan hal itu bisa diminimalisir agar tak berefek pada hal yang lebih mengerikan.

Saya tidak tahu, apa kelak dia akan sama dengan visi dan mau menjalani tanpa banyak tanya. Bagaimana pun wanita kerja turun ke dunia usaha secara totalitas pasti punya pretensi pada kondisi keluarga. Di sisi lain ada hal pokok terkait keuangan keluarga yang butuh suntikan dana, menikah bukan hanya soal cinta ada sesuatu besar yang kadang luput dipikirkan. 

Tapi semua bisa dibicarakan. Uang bukan segalanya bila sudah ada pembicaran serta persamaan prinsip. Hal ini bisa dilakukan pra-menikah. Penting dilakukan kejujuran dan niat awal menikah untuk apa. Mengarungi bahtera rumah tangga tak semanis janji di awal pacaran, akan ada ujian terkait komitmen yang disepakati. Itu perlu perjuangan. Adakalanya pengorbanan dari kedua pihak. Egoisme tak perlu ditonjolkan karena hanya menambah runyam keruwetan yang telah ada. 

Apa uang itu penting dan segalanya? 

Lagi-lagi tergantung siapa yang melihat dan kualitas jiwanya bagaimana. Karena kita tak bisa menyamakan persepsi. Jangankan dalam untinitas luas dalam sebuah keluarga saja yang sama lahir di rahim satu tetap beda kepala beda tabiat. Penting dipahami agar paradigma berpikir kita tidak semu dan terbawa arus perasaan. 

Jujur saja sampai saat ini saya belum punya andalan bagaimana modal untuk nanti apalagi menjalani kebersamaan dengan modal yang tak selalu kecil. Terdengar idealis memang pikiran saya bahwa saatnya nanti pasti ada. Saat orang lain fokus menumpuk modal untuk cepat ganti status, kerja banting tulang, saya tenang saja menjalani dengan pikiran sederhana dan terus dikobarkan: kalau emak ridha dan merestui apa saja mudah. Slow saja, ngapain sibuk memikirkan hal yang memberatkan pikiran. Bagi sebagian orang ini konyol dan terlalu sembrono, di mata saya malah meyakinkan. Kalau Allah ridha, orangtua ridha, apa lagi yang layak dikhawatirkan?

Gambaran ini lahir dari penantian panjang dan proses memahami romanika hidup yang saya jalani. Di awalnya saya juga bingung, seiring berjalannya waktu saya memahami banyak hal, di antaranya nasib orang berbeda, saat berbeda untuk apa dipersamakan dengan nasib mereka yang tak serupa. Menyamakan sama saja menyiksa jiwa, menuruti menambah derita, apa itu bukannya sebuah kebodohan yang nyata, ya? 

Untuk itu saya percaya menanamkan prinsip harus sedini mungkin. Misalnya pembicaran dengan calon terkait apa saja agar kelak saat sah telah terpatri tak ada keraguan dan perdebatan tak perlu. Urusan isteri kerja atau tidak akan kecil kalau sudah ada pemahaman yang sama, kalau tak ada... ya sukar. Mumpung masih ada kesempatan, mari perbaiki apa yang kurang dan tingkat yang sudah baik. Insya Allah semua akan indah di waktunya. Laa khoufun walahum yahzanuun. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang    |   3/7/2021

Posting Komentar

0 Komentar