Gara-Gara Jenggot

"Wuih, masya Allah jenggotnya, makin panjang aja," begitu kata orang yang sering menyapa saya.

Saya tidak kenal mereka, hanya tahu sekedar. Tentunya menghargai. Seperti yang kalian tahu, jenggot itu punya simbol sendiri, dan tanda ketaatan.

Kok bisa?

Itukan sunnah Nabi. Memeliharanya punya esensi pahala. Dan kata teman wanita saya bisa menambah kegantengan di wajah. Tak usahlah kita perdalam hukumnya, yang pasti ada nilai agama di sana.

Sering saya ketemu akhwat di banyak tempat kesannya memandang saya itu... gimana gitu. Kadang saya nervous sendiri. Apa segitunya mereka terpesona oleh janggut yang ada ini, apa itu hanya karena janggut yang membawa berkah di wajah? Jujur saja, dalam ibadah saya biasa saja.

Seringkali saya malu. Apa harus ini janggut dipotong? Kalau dipotong apa tidak sayang? Sudah lama dia menemani saya.

Saya ingat, di akhir kelulusan Aliyah sederajat SMA, saya tak lagi mau mencukur jenggot. Sengaja benar dipertahankan. Itu tahun 2012. Ada sih ketakutan, bagaimana kalau nanti panjang dan saya terlihat tua?

Saya tepis cepat. Pokoknya terserah. Harus dipertahankan. Di awal-awal memang cukup berat. Lama-lama jadi biasa. Sampai kini tahun 2021 tetap dijaga. 

Kalau ditanya, "kenapa sih betah memertahankan?"

Mudah sekali dijawab: nyaman. 

Serius, kalau sudah nyaman saya pantang untuk mundur lagi. Tak peduli geger isu tersebar kalau orang berjenggot itu katanya ini-itu, saya sih: sabodo amat!

Yang tahu hidup saya itu saya dan mereka pun begitu. Jadi, untuk apa dicemaskan. Toh, saya nyaman, ajaran agama memperbolehkan, negara pun memberi ruang pengepresian diri; apanya yang mencemaskan?

Nanti jodohnya dapat yang taat lagi loh? 

Ya, baguskan. 

Bukannya itu berat?

Bagi yang gak mampu, iya. Bagi yang siap bekalnya, hayu aja.

Formil banget kan? Sok taat?

Mending disebut sok taat, daripada dicap penjahat. Enak mana coba?

Dalam hidup kita perlu punya prinsip. Dalam hal apapun. Sikap kita itu kualitas kita. Harus tahu dan punya dasar. Jangan hanya ikutan. Apalagi latah akan dinamika gaya populer yang kita tak tahu esensinya apa dan untuk apa sampai misalnya hilang harga diri bangsa di dalamnya, kan repot jadinya.

Apa sejauh itu jenggot ini memberi warna--atau nanti memberi kejutan lain di kancah sejarah saya? Hanya pada-Nya saya serahkan. Wallahu 'alam. []

Nb: sengaja saya menulis jenggot bukan janggut. Nyamannya gitu.


Pandegalang  |  14 Agustus 2021

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar