Terkait Kematian: Menakutkan atau Menentramkan?

Sungguh, sampai hari ini kita telah ditipu oleh paham matrealis. Kebohongan kian hari kian menjadi. Betapa kematian di mata kita, amat menyakitkan. Amat menakutkan. Hal-hal yang amat menjauhkan dari hal menyegarkan jiwa.

Sampai pada pernyataan, "Aku takut mati dan tak mau mati!"

Padahal mati adalah hak. Sebuah keniscyaan. Siapa dan apapun makluknya akan menyapa yang namanya kefanaan. Sebuah hal alamiah. Sebuah proses normal pada peradaban manusia.

Bayangkan, seandainya tak ada kematian. Mungkin sampai hari ini kita akan bertemu dengan Hitler, Mussolini, Fir'un, Lenin-Stalin, atau kita akan bertemu makluk besar luar biasa sejenis naga, dinosaurus; bisa kita bayangkan betapa ramaikan bumi dengan segala rupanya..

Kelahiran terus terjadi, di sisi lain tak ada kematian di seluruh jagat dunia. Betapa kerumetan, kesempitan, dan dunia penuh problema yang pasti lebih menakutkan. Suku-suku kanibal berkeliaran di mana-mana. Bom atom diledakan untuk menumpas makluk jahat, entah berapa jutaan manusia mati karenanya

Apa itu selesai? Ternyata tidak. Tak ada kematian. Itu sebabnya. Bangunan menjulang di mana-mana, perang ada di sana-sini, entah apalagi yang bisa kita saksikan. Muaranya, tak ada kematian.

Tapi untungnya Allah tidak lakukan sesuai kehendak kita. Tidak, tidak.. seriusan begitu. Allah cipta mati. Allah memberi manusia dan makhluk batas usianya. Sebuah siklus alami untuk menjaga siklus dan eksistensi kenyamanan pada hamba-Nya yang lemah dan sering lalai. 

Lucunya, kita takut dengan mati itu. Istilah untuk berhentinya jantung tak berdetak lagi. Padahal mati, yang dipahami Islam tak cukup itu. Tak hanya itu. Terlalu kerdil dan sederhana kita memaknainya. Tapi Allah tak membenci kita, Allah pahami "kenakalan" kita.

Allah utus nabi dan rasul-Nya untuk kabarkan pada kita ternyata mati memiliki rahasia, cerita, dan esensi. Mati tak sekedar lepasnya nyawa. Lagi-lagi, karena kebodohan dan rasa bebal kita tak mau menyibak makna mati dan apa sejujurnya esensi kematian kita.

Kita tak mau mendalami kenapa ada yang tak takut mati, di akhir usianya dia menebar senyum ceria. Seolah mengejek kita yang menangisi kematiannya. Kitapun tak mau memeriksa, ada orang yang sekarat tetapi jiwanya tenang dan tak terlihat beban sakit di sana... pada akhirnya dia menampakkan wajah bahagia. Jutaan mata menyaksikan dan sejarah mencatat nama baiknya.

Lantas, kenapa kita takut mati?

Dunia, oh, dunia menipu kita. Atau barangkali, bukan dunia yang menipu kita tetapi kita yang tak mau memilih mati yang penuh derita atau penuh cinta. Kita punya akal dan pikiran, kenapa tak digunakan?

Bodohnya kita, haruskah kita terus dijajah oleh stigma mati itu amat menakutkan?

Kalau iya, bukan risalah mati itu yang salah. Kita yang bodoh menerima risalah itu tanpa mau menggali dan mempersiapkan bekal abadi. Padadal dunia itu hancur di masa yang pasti.

Meski banyak pihak yang mulai menyanggah, tetap saja mereka pasti akan mati dan terkubur nama lagi jasadnya dalam sejarah kelam dunia. Siapa yang menabrak siklus alami sia-sia hidupnya. Tak ada tujuan pasti dan hidupnya hanya cerita usang tanpa esensi abadi.

Tengoklah buku Youfal Noah Harari yang mengatakan "kelompok manusia" katanya tengah membuat teknologi terkini agar manusia bisa memperpanjang usia dan menghancurkan istilah kematian, artinya bisa abadi. Melawan ketakutan karena terus ditakuti proses kematian itu menakutkan.

Terus, apa berhasil?

Kita lihat saja. Sejauh ini sia-sia. Sekelas  mendiang Steve Job saja menjadikan kematian untuk memompa semangat agar tetap produktif. Bisa jadi ia tahu bahwa mati itu proses meningkat produktifitas, bukan sekedar akhir tanpa cerita.

Kalau umumnya kita takut pada kematian kita itu karena apa?

Kalau bekal pahala jadi alasan besarnya, kenapa kita tidak memompa semangat untuk aktif dalam ketaatan. 24 jam itu kita habiskan untuk apa kalaulah beralasan memikirkan bekal pahala. Tentu lagi kita beralibi. Itulah kita manusia yang selalu ingin senang tanpa ingin memikirkan hakikat mencapai senang itu bagaimana.

Paham yang sudah terlanjur tersebar kita akan dicabut oleh malaikat yang wajahnya menakutkan tanpa ada rasa kasih sayang.

Akan tetapi pernah kita pikirkan: wajah seram itu ditampakkan pada siapa?

Pada manusia yang lalai pada aturan-Nya kah? 

Pada kita yang pasti merasa masuk surgakah?

Pada kita yang ingin abadi di dunia? 

Pada kita yang terus menyimpan dendam, dengki, marah, egois, takabur dalam hari-hari?

Atau pada kita menyadari dunia itu tempat menyimpan dan mengumpulkan bekal untuk dunia lebih abadi?

Ya, ini penting agar kita tak salah persepsi terkait wajah malaikat itu. Malaikat tentu punya aturan atau pegangan hukum bagaimana sepatutnyan bersikap. Kita jangan sampai punya anggapan absurd terkait itu. 

Pendapat kita terkait kematian bisa jadi semisal 4 orang buta menilai kucing. 

Yang pertama berpendapat setelah memegang kucing itu galak, buktinya tangannya digigit. Dia pasti menakutkan.

Kedua berpendapat bahwa kucing itu makhluk berbulu lagi lembut. Suaranya pun merdu. Pasti dia cantik dan imut.

Ketiga berpendapat jenis makluk yang mengerikan, buktinya kukunya tajam lagi panjang. Wajahnya pasti tak kalah mengerikan.

Keempat berpendapat kucing berekor dan suaranya menakutkan. Dia tahu karena tak sengaja menginjak ekornya.

Tetapi kan, tetap saja yang tahu hakikat kucing itu orang yang bisa melihat dan menyaksikan langsung kucing itu, tak sekedar katanya. Begipula kematian, yang tahu hakikatnya itu pasti siapa yang bisa menyaksikan pesan di dalamnya dan merasakan esensinya apa. Dia tahu karena sudah mencari tahu.

Nah kita, bagaimana? Silakan renungkan sendiri. (*)

Pandeglang | 15 Agustus 2021

Posting Komentar

0 Komentar