Pasca Menulis Perihal Kematian

Setelah menulis perihal kematian kemarin, ada dua peristiwa kontan yang saya alamai. Pertama, motor yang setia menemani mati secara tiba-tiba. Kedua, tetangga saya meninggal di waktu yang hampir sama.

Dua hal yang membuat renungan di pikiran saya: ada hikmah apa dan esensi tersimpan di dalam dua peristiws ini?

Bisa saja ini media teguran kepada saya agar berhati-hati menulis karena setiap tulisan punya konsekwensi tersendiri. Tak hanya asal dicatat. Pada gilirannya dia akan minta konklusi.

Ajaibnya, saya slow saja.

Terkait motor yang mati total itu pas mati dekat bengkel. Dengan baik dan cukup ramah dia cari akar penyakitnya. Sampai motor itu turun mesin.
Setidaknya butuh 2,5 jam dipakai. Dan saya harus menunggu dengan emak juga adik saya.

Tahu berapa budget yang dihabiskan? 

Empat ratus empat puluh rupiah. Jumlah yang cukup besar bagi saya. Yang ironi, dikantong tak ada uang serupiah pun. Konyol memang. Tetapi untung ada emak, itupun hanya ada seratus lima puluh.

Masih kurang tiga ratus ribu lagi. Terus bagaimana dengan pemilik bengkel itu? Dia slow dan dibayar seadanya. Besok tinggal sisanya.

Saya rasa dia legowo. Alhamdulilah, tak ada pemaksaan. Bisa saja ini hikmah bagaimana seharusnya kita menyikapi musibah. Harus tetap tenang dan bersikap biasa. Kalau diberi nikmat saja ceria, masa diberi ujian selalu merasa tersiksa.

Hari ini rencananya saya akan lunasi ke sana. Bukan uang saya sih, titipan dari Allah untuk didayagunakan. Semoga lancar.

Terkait kematian itu, ya bisa jadi cambuk untuk saya eling dengan masa muda ini. Mati tak kenal usia. Tak kenal kelas. Tetap waspada, tingkatkan kualitas iman wujud taat pada-Nya. (*)


Posting Komentar

0 Komentar