Pengagum, Masa dan Lalu

*Ada mungkin di hari yang lalu seseorang menyapa saya di inbox FB. Dia menyapa dan menyampaikan apa yang dia rasa, tentu saja sebagai biasa saya tersanjung. 

Menyampaikan apresiasi balik. Tak ada yang salah dengan apa yang dia lakukan. Meskpun saya bertanya: siapa dia dan benarkah hanya menyapa belaka.

Maka saya tanya dan terjalin cengkrama biasa. Hal yang saya soroti saat pertanyaan diajukan: kenalkan dengan saya di alam nyata? Kenal katanya, tetapi dia sengaja menutupi identitasnya. Padahal saya ingin tahu dan dia tak memberitahu; itu hak dia sih, cuma untuk apa menutupi jati diri?

Lama-lama saya berpikir, ada apa dengan saya dan kenapa memaksa orang lain mengungkapkan jati dirinya. Bukankah itu hak dia, lagian saya orang asing bagi seperti saya tak tahu dia siapa. 

Feer bukan?

Bisa jadi, karena faktor trauma di masa lalu yang menumbuhkan kecurigaan di dalam diri. Meminjam istilah Sigmund Freud, kita yang kini adalah akumulasi dari "beban" masa lalu. Ada sebab dari tingkah sehingga menjadi akibat. Teori Freud yang masyhur dibenarkan atas sikap saya terhadap orang tanpa identitas.

Di masa yang lalu, saya pernah kenal dengan wanita di hp. Entah darimana ada nomor baru menyapa di pesan. Saya balas ala kadar. Kebiasaan saya tak membiarkan apalagi melalaikan sms dari siapapun. 

Dari sana terjalin komunukasi. Kami ngobrol. Saya diberi tahu namanya, dimana tinggalnya, orangtuanya, dan semua tentangnya; sayapun demikian jujur apa adanya. Saya pikir diapun jujur, maka tak ada hal yang membolehkan saya harus berdusta.

Dua tahun kami bersama. Merajut makna dengan status. Saling menguatkan. Memberi semangat. Meski hanya di hape, LDR belaka. Tak ada niat apapun, saya serius dengan apa yang kami jalani.

Hingga bak petir meledak di siang bolong... dia berdusta! Dia bohongi saya dengan identitasnya. Dia hanya membayangi dirinya dengan mimpi palsu. Jujur saja, saya sempat oleng. Sakit rasanya.

Dia ternyata orang yang kenal saya. Adik kelas saya. Apa katanya, pengagum rahasia! Entah bingung apa yang harus dilakukan, tetapi saya memilih berdamai dengan keadaan. Saya peluk rasa sakit. Sikap saya tetap wajar, padahal di dasar hati sakitnya sungguh amat merana. Siapa yang peduli. 

Sampai saat ini, saya selalu hati-hati dengan orang yang menyapa tanpa identitas. Saya memilih suka pada mereka yang jujur daripada berdusta demi hal baik sekalipun. Kita tak tahu apa dampak besar dari rasa dusta itu; apalagi menyoal rasa dan asamra. Sungguh itu amat menyakitkan jiwa raga.

Apakah tetap teori Freud terkait trauma masih saya yakini sekarang?

Tentu saja. Hanya saja tak setotal di masa itu. Itu sudah berlalu biarkan menjadi masa yang kelam. Hari ini saya menemukan teori sanggahan dari teori Freud dengan adanya teori Alfred Adler. 

Apa itu teori dari Adler?

Terori Adler dikenal dengan teori individulistik, yakni sebuah teori yang meyakini bahwa trauma tak ada. Adler lebih fokus ke masa depan. Kalau ada orang punya "beban" masa lalu maka di hari ini semua bisa dirubah. Itu tergantung sikap kita, akankah mau merubah atau membiarkan.

Kalau Freud terihat statis, tidak dengan Adler yang dinamis. Keduanya psikolog besar di masanya. Pernah menajadi satu tim dalam suatu hal, akan tetapi terpecah karena Adler tak sejalan dengan teori yang dikemukakan Freud. Dalam sejarahnya walau ada gap, mereka tetap saling menghormati.

Untuk itu, saya akan fokus ke masa yang depan. Kehati-hatian saya bukan lagi tembok, adanya hanya tameng. Yang berlalu sudah berganti, hari ini saya terus berusaha untuk jujur. Baik kepada diri saya maupun kepada orang lain. Kejujuran itu akan melahirkan damai lagi sejuk di jiwa. Begitulah esensi agama saya pahami. Wallahu 'alam. []

Pandeglang ||  12 Agustus 2021

Posting Komentar

0 Komentar