Ada Yang Sering Iri? Ini Nasihat Ulama dan Penjelasan Pakar Selengkapnya

Seorang Anak Yang Merasa Iri/ Orami.co.id

    Pernahkah suatu waktu kamu ketemu teman, teman lama. Dulu dia biasa saja, tidak sebagai orang tercatat berprestasi. Tidak macam kamu yang terlanjur manis diingatan orang. Siapa yang tak kenal?

    Eh, tahu-tahu, saat ketemu dia ... begitu manis dengan seragam dan tubuh prima yang mempesona. Anganmu tidak pada masa lalu dia lagi, tetapi pada tampilan kini.

"Kok dia begini, dulu dia tidak begitu. Hmm, bisa ya?"

    Sayangnya, semua tidak seperti yang kamu bayangkan. Takdir berkata lain, dia tengah berada di roda kehidupan nan manis. Dan, coba bagaimana seharusnya kamu bersikap?

Kalau kamu iri, kira-kira itu normalkah?

    Dilansir dari Klikdokter.com, menurut Ikhsan Bella Persada, M. Psi., Psikolog, iri adalah bentuk reaksi yang timbul ketika seseorang terobsesi akan sesuatu yang tidak bisa dimiliki. 

    Sedangkank Erbe Sentanu seorang transformational coach dan mental healer dari Katahati Institute lain lagi. Ia menegaskan, pada dasarnya iri dan dengki bukanlah sifat asal manusia.

"Saya tidak setuju kalau ada yang bilang sifat iri itu manusiawi. Bayi lahir ke dunia dengan hati suci, tanpa rasa iri. Ibunya jelek, miskin, atau cacat, dia tetap menyayangi sang ibu, apa adanya. Kita dilahirkan dengan kondisi merasa cukup dengan apa pun yang diberi Tuhan. Kalau setelah besar kita tumbuh jadi orang yang suka iri, itu karena bentukan dari lingkungan," pria yang disapa Nunu ini menegaskan.

    Lingkungan itu bisa berupa orang tua yang gemar membanding-banding anaknya dengan anak orang lain, suka memaksa anaknya agar lebih hebat dari anak lain, atau tak mau anaknya 'kalah' dalam segala hal dari anak lain. Tapi bisa juga merupakan bentukan dari lingkungan pergaulan, misalnya peer group (khususnya di masa remaja), lingkungan pekerjaan, atau kelompok arisan.

    Dari sini kita bisa sedikit menyimpukan bahwa sejatinya iri sesuatu "yang diciptakan" dan sesuatu yang bukan bawan lahir. Sebagai sebuah penyakit hati ia masih bisa diperbaiki dan renovasi, tergantung bagaimana kita mau mengelolanya.

    Sebagimana yang diterangkan Dr. H.M Zainuddin M.A dalam tulisannya di situs UIN Malang, mengatakan bahwa Imam As-Syarqawi menjelaskan bahwa penyakit iri ini secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua macam:

1). Iri yang melahirkan kompetisi sehat (al-munafasah);
2). Iri yang melahirkan kompetisi tidak sehat (al-hiqd wal hasad).

    Iri jenis pertama merupakan kompetisi sehat untk meniru hal-hal positif yang dimiliki orang lain tanpa didasari oleh interes jahat dalam rangka fastabiqul khairat. Iri dalam jenis ini merupakan sesuatu yang diharuskan bagi setiap muslim berdasarkan firman Allah: “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu peraselisihkan”. (Q.S. al-Maidah: 48).

    Sementara iri dalam jenis kedua lebih didasari oleh rasa benci terhdap apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, baik yang berkaitan dengan materi maupun yang berhubungan dengan jabatan/kedudukan. Iri dalam kategori ini, menurut Imam As-Syarqawi cenderung memunculkan sikap antipati dan bahkan melahirkan sikap permusuhan terhadap orang lain. Kemunculannya lebih disebabkan oleh rasa sombong, bangga, riya’, dan rasa takut kehilangan kedudukan.

    Dari apa yang dipaparkan di atas kita bisa menyimpulkan: Pertama, Iri itu bukan sifat fitrah manusia. Kedua, Sifat ini berbahaya pada mental seseorang kalau tidak mampu mengelolanya. Ketiga, sebagaimana apa yang dikatakan oleh Imam Syakhawi dalam kitabnya bahwa tidak semua iri itu negatif, ada yang positif dan negatif.

 Nah, semua kembali pada kamu akan memilih yang mana. Saran saya, tetap berbuat baik dan menebarkan kebaikan. Wallahu'alam. (Diambil dari berbagai sumber)

Pasar Pandeglang | 31 Maret 2022 

Posting Komentar

0 Komentar