Kepergian Kakek dan Ketakuatan Yang Terjadi


***

Tepat di jam 3 sore, kakek menghembuskan nafas terakhir di tengah tangis cinta keluarganya. Saat berat itu masih lekat di benak.



Sakit yang diderita kakek menemukan akhir. Bagaimana di detik menentukan itu, nafas tak ada.. Ruh itu menemui Sang Maha Kuasa. Tangis pilu disertai sesak dada melepas bagian jiwa.

Lalu, terbayanglah masa di mana saat kakek terbaring sakit: bagaimana kalau sampai terjadi konflik pasca wafat? Konflik yang terjadi seperti "keluarga lain" yang sering menjadi tontonan.

Saat kepergian terjadi, kesibukan pun mulai terasa. Akan tetapi, apa semua "ketakutan" tercipta?

Alhamduillah atas rahmat Allah semua memiliki cerita lain, dengan demikian ketakutan itu sebatas khayalan belaka. Ketakutan itu lebih kepada rasa konflik, bagaomana dan bagaimana kalau terjadi.

Tetapi hal terbesarnya bukan itu, karena pesan yang diharap persatuan. Komponen inti sebuah keluarga itu persatuan. Di zaman modern, kita menyaksikan pengikisan moral yang memiriskan rasa.

Bagaimana moral anak sudah tak lagi semanis itu, kepedulian oramngtua tidak sekuat dulu, dan hukum yang dipelihara dianggap tak relevan dalam realitas harian.

Tak jarang konflik tak bisa diredam, meledak pada segi lain. Atas kenyataan tersebut perlu kiranya kita belajar arti sebuah harmoni. Sebagai komponen dasar kehidupan membangun pondasi menjadi sebuah keharusan

***

Yang pergi tak bisa kembali. Begitulah atas wafatnya kakek. Harapnya akan tetap lestari di tengah kami untuk membimbing, menemani, dan mengayomi. Tapi takdir Allah sudah ditentukkan dan terjadi.

Bukan saatnya lagi menggugat, tetapi menerima takdir yang terlukis dalam kamvas kehidupan. Sampai di sini, sepatutnya kita merenun bahwa ke-ghaiban mati bisa menjadi pecut untuk kita terjaga mengumpulkan nilai-nliai sosial. (*)

Pandeglang, 18 Maret 2022

Posting Komentar

0 Komentar