Mengenang 10 hari Perginya Bapak Kolot

Potret bapak kolot|dok. Pribadi


Begitu cepat waktu berlari meninggalkan kenangan pahit. Terhitung wafatnya bapak kolot di hari kamis jam 3 tepat tanggal 17 Maret 2022 sampai hari ini yaitu 10 hari. Tak ada kata yang patut aku sampaikan selain rasa terima kasih pada siapa yang telah membantu lancarnya prosesi pemandian, pembungkusan, penshalatan, sampai pada proses penguburan jasad bapak kolot yang amat kami cintai.

Hal yang buat aku bangga juga ialah mau turun tangannya keluarga besar kami yang tadinya aku takutkan akan abai. Alhamdulillah, semua memiliki cerita dan aku bersyukur akan kebersamaan yang terjadi. Kebersamaan bersama bapak kolot masih membekas, betapa nasihat dan sikap-sikapnya patut menjadi teladan. Rasanya ia belum pulang dan pergi ke alam baqa. 

Aku tahu sebagai manusia biasa bapak kolot memiliki kekurangan atau bahasa kininya itu plus-minus. Aku pikir itu tidak masalah, toh itu ciri sifat kemanusiaan. Tinggal aku melihatnya saja dari sudut mana: negatif atau positif. 

Dalam pergulatan sosial kita harus memilih. Mana yang kiranya baik, mana yang kiranya buruk. Kalau melihat sesuatu dari apa yang kita senangi dan sejalan dengan apa yang diharapkan, rasanya itu sia-sia. Yang ada lelah, capek, dan bikin hati nyesek pastinya.

Dalam konteks bapak kolot aku ingin melihat dari sisi ibrah. Aku tahu siapa saja yang punya konflik dengan kakek, meski itu konflik dingin. Di momen kematian bapak kolot aku melihat wajah mana saja yang berduka, tulus membantu, pastinya ikut berduka cita. Dan mana yang biasa saja atau bisa saja tersenyum. Jahat memang tapi kenyataanya terlihat.

Justeru dari sana aku punya gambaran tentang arti sebuah maaf dan berdamai dengan keadaan. Bukan terus memlihara api dendam yang kapan saja bisa meledak.

Sungguh itu amat melelahkan, Atas kepergian bapak kolot, aku terus mengenang dan mengingat kiranya apa saja amanah yang beliau katakan. 

Sebagai cucu terbesar ada beban besar aku tanggung, harus aku akui, di antara yang lain aku yang paling dekat dengan bapak kolot. Kedekatan itu selain membawa berkah juga memiliki muatan konsekwensi secara langsung.

Bapak kolot yang dikenal tokoh masyarakat dan guru ngaji otomatis memerlukan generasi penerus, aku yang lumayan lama digembleng pun ketiban amanah tersebut.

Berat!

Aku yang masih lemah dan mudah gonjang-ganjing bersikap takut kalau nama besar bapak kolot tercoreng karena apa yang aku lakukan. Sebagai pemuda dan orang yang keranjinan hanyut di dunia pemikiran ada banyak kecemasan, dan semua bermuara pada kata: jangan-jangan, jangan-jangan dan jangan-jangan! 

Terlepas dari itu, tentu saja perginya bapak kolot adalah bagian takdir yang Allah atur. Sesayang apapun kita pada sesuatu, yang pasti smua ada batasnya, Batas ini yang al-Qur'an sebut ajal. Sebab yang namanya ajal tak ada yang tahu.

Hari ini orang lain, kemarin kakek, dan tak lama lain bisa jadi kita? Ya, siapa tahu. Tugas kita bukan mencaci dan lari dari kenyataan tersebut. Kumpulkan bekal amal baik berlandaskan niat lillah dan hanya pada-Nya kita pasrah. 

Insya Allah ketakutan kita pada kematian  dan peristiwa setelahnya akan sirna. Semua harus berangkat dengan bekal cukup. Untuk itu pantas memberi kita motivasi dengan mengatakan fastabiqul khirot artinya berlomba-lomba melakukan kebaikan. 

Semoga saat kita tercebur dalam taat, izrail cabut kita dengan tatapan cinta dan senyum manis. Amien. (*)

Pandeglang | 26 Maret 2022

Posting Komentar

0 Komentar