Seragam Merah dan Tiga Sarung Manisa

Ilustrasi Tiga Santri / internet

Tidak lepas netra menatap sosok itu. Dengan senyum manis dengan lekuk wajah imut menambah pesona dari ciptaan Tuhan di mayapada.

Saat kaki di langkahkan ke Masjid Ciherang, entah itu sebuah anugerah atau ujiaan, wajah itu dan postur mungil itu tak sengaja mengumbar sinyal yang tersinari mentari.

Di zaman ini, seorang hawa coba untuk memeluk taat dalam aktivitas. Tak peduli mayoritas pengunjung ialah kaum adam, yang tak sedikit sudah berumur. Ia tak terganggu, mungkin nyaman saja dengan keadaan tersebut.

Menyaksiskan itu, ingin sekali aku menyapa terkait aktivitasnya. Untuk apa dan bagaimana kiatnya. Sejujurnya ada dorongan untuk itu, segera saja separuh hati teriak, 

"Apa-apaan kamu, gak tahu malu!"

Lekas aku alihkan pada angan yang mengembara. Lagian jiwaku penuh dengan ragu dan pertimbangan, untuk apa menyapa dia yang tengah mengepakan sayap merahnya.

Bukankah lebih baik diam. Diam sambil sesekali menajamkan rasa pada cita. Kalau sesekali melihat, ya lihat saja. Tidak usah munafik. Paling baik pastinya jaga pandangan. Toh meilhat atau tidak tidak ada guna, terkecuali aku mau serius lagi menseriusi dia, baru deh. Kalau sekedar ingin kenal belaka, untuk apa?

Di Pasar nan ramai pun ada tiga kibar sarung jelita, yang katanya cantik, namun lagi-lagi karena apa aku tidak terlalu tertarik. Aku hanya kagum pada sarung yang bertngger itu. Terihat lebih manis, ayu, dan natural. 

Hal itu mengingatkan aku pada anak pengasuh pesantren di Kadu Merak itu. Putri bungsu Abah. Sering kali bertemu di pasar, yang klise-nya aku hanya diam dan menggerutu dalam angan.

"Kamu itu, lelaki terlalu banyak memilih!" 

Sederet kalimat itu acapkali aku dengar. Itu kata mereka menilai status diriku yang belum juga melabuhkan jiwa pada satu hati. Hati yang memahami dan pasti merenda rindu dalam naungan akad suci.

Sejujurnya aku pun sering termenung dan ikut memikirkan. Bukan mlamunkan. Pada dasarnya aku yakin dan percaya, segala sesuatau ada waktunya. Saat menyapa bukan waktunya berpikir lagi tetapi mengambil resiko atas pilihan yang dilakukan.

Soal ini telah aku sederhanakan. soal ini aku punya alasan yang kuat bahwa prinsip yang aku bangun bukan sekedar ingin. Demi cita-cita luhur di masa depan nanti.

Apa yang aku potret dengan seragam merah dan tiga sarung manis itu tak lain hanya eksplorasi imajinasi diri yang berharap produktif. Jikalau prinsip sudah disangsikan untuk apa arti sebuah idealisme? Sedangkan idealisme tanpa konsekwen, itu sia-sia.

Sampai di sini, ada banyak keindahan di dunia dan wanita selalu menempati peringkat pertama di pandangan kita. tentu saja, bukan sekedar soal fisik dan kemolean tubuh. Bukan pula bombastisnya wanita jadi komoditi bisnis belaka. Lebih dari itu, keindahan yang lahir karena sejatinya wanita indah dengan keindahan yang dimilikinya.

Karena itulah dalam potongan hadits-nya berkata, "berbuat baiklah pada wanita karena Nabi orang yang paling baik kepada wanita." Redaksi singkatnya begitu, tinggal gimana kita  menyikai  ini dari sudut mana. (*) 

Posting Komentar

0 Komentar