Wajah Mendung di Wajah Emak

"Apa emak yakin kalau anak emak bakal sukses?" tanya ku di sela-sela obrolan malam.

Sejenak emak terdiam. Diam sambil menekur betapa pertanyaan itu cukup menohok rasanya. Tapi aku sengaja memberi tanya itu, tak lain untuk meyakinkan jiwaku yang sering resah.

"Di lihat dari gambaran awal kayaknya iya. Hanya saja emak mengkhawatirkan satu anak emak, dan itu dia," tunjuk emak pada anak sulungnya. 

"Walau bagaimana emak gak bisa menutup mata bahwa punya riwayat udzur cukup panjang. Entah bagaimana nanti, ada sesak di dada ini! Apakah takdir nantinya mengantarkan pada jalan yang cerah sesuai apa yang diharap?!"

Ada warna mendung di raut wajah emak mengungkapkan itu, walau bagaimana aku merasa bahwa melewati masa ini tidak mudah. Masih hangat teringat bagaimana saat di abang-- sebutanku padanya-- mengamuk, merajuk, dan terima dalam kesunyian diri. 

Pada jadinya aku merenung. Apa yang harus aku lakukan dengan kenyataan ini? Apa harus memilih kalah dengan kenyataan? Apa pura-pura diam? Sejujurnya ini pula yang membebani pikiran dalam dasawarsa ini. 

Banyak orang bertanya kapan menikah semudah memakan sambal. Pedas tapi bikin ketagihan. Ya, itu pikir mereka. Aku pun tidak menutup mata dengan pikiran itu, hanya saja apa setiap orang mampu melangkah pada apa yang telah dicapai orang?

Maksudku, apa bekal yang ada sudah terpenuhi. Sedangkan ngomongin bekal setiap berbeda. Apa yang orang bilang cukup belum tentu bagi orang lain juga sama. Mungkin uang 10 juta dengan gaji yang pasti sudah jadi bekal bahwasannya sudah pas menikah. 

Usia pun begitu, tidak denganku yang memiliki paradigma lain. Bagiku menikah itu soal kepastian langkah, keyakinan pilihan, serta kematangan emosional. Saat memiliki melangkah, tidak mau lagi mempertanyakan untuk apa dan tujuan menikah. Sebuah fase yang tidak mudah juga tidak sesederhana apa dipikirkan. 

Atas pertanyaan tentang sukses itu aku pun hanyut di wajah emak bahwa sukses ialah menentramkan hati emak dari ketakutan dirinya. Melangkah harus ada bekal. Dan sebaik-baik bekal itulah takwa. Begitulah ayat suci pesankan. 

Kenyataan ini menyadarkan aku tentang tugas yang belum jua purna. Semua harus dihadapi dengan kepala tegak. Di balik takdir ini ada hikmah tersembunyi. Begitulah siklus kehidupan. (***)

Pandeglang,  14/5/22

Posting Komentar

0 Komentar