Apakah Menulis Harus Selalu Demi Fulus?

Terdengar idealis judul di atas ya, kesannya gimana gitu. Hari gini melakukan sesuatu tulus. Tanpa sesuatu tujuan jelas. Mana ada?

Bukankah sedikit-sedikit uang, demi uang dan untuk uang. Uang itu segalanya. Tanpa uang kita akan mati sebelum ajal menjemput. Kamu boleh setuju atau tidak.

Tapi opini ini telah menggejala di sanubari warga dunia. Siapa yang melawan arus akan berhadapan dengan opini publik, yang pastinya bikin jiwamu ketar-ketir. Apalagi macam saya misalnya pengen menjadi penulis tanpa berharap materi sedikitpun.

Ini gila dan amat aneh. Sok idealis dan sok suci. Begitu kata mereka. Apa salahnya sih berkarya berharap dapat nasib hidup yang lebih manis. Bukankah di luar sana harap ini bukan hal tabu lagi negatif?

Yang penting kita tidak menyusahkan orang lain. Bukan hasil korupsi dan nyolong juga. Mending nikmati dan tak usah gusar. Separuh hati saya sendiri tak mau. Menolak dengan keras.

Hal ini mungkin saya teringat dengan hikayat seorang Imam ahli shorof (baca: alat) yakni Imam Sibaweh yang setiap menuntaskan karyanya, dia tidak langsung mempublikasikan.

Ada ritual anehnya yang tiap selesai menulis ia lempar karyanya ke laut sambil berujar, 'Ya Allah, kalau karya ini bisa memberi berkah maka kembalikan lagi karya hamba. Kalau tidak, maka biarlah hancur di bawa arus ombak laut.'

Dan apa yang terjadi? 

Karya itupun kembali. Atas izin Allah pasti. Sebab ulama besar itu percaya, selain Allah itu makhluk. Meski wujudnya laut sejatinya ia tetap mahluk Allah. Terikat oleh aturan dan di bawah naungan kuasa-Nya. 

Beda kita dengan Ulama itu, kita punya karya kecil saja sudah jumawa dengan merasa sudah melakukan banyak hal. Niatnya nyari popularitas dan nama besar. Padahal entah itu punya bobot apa tidak. 

Kalau kita ikut cara Imam Sibaweh melempar ke dasar laut, apa yakin karya kita akan kembali? Yakin, kita takut. Urusannya bukan soal kembali atau tidak, tetapi iman di jiwa kita yang lemah. Ditambah daya ilmu dan ikhtiar ke sana kurang signifikan. Sudah lengkap deh.

Jujur, ini yang menjadi kegalauan saya berkarya. Apa demi materi atau atas nama tulus tanpa embel apa-apa. Sisi lain saya orang faqir iman dan ilmu, maka kecintaan pada harta adalah sebuah kepastian utama. Punya keyakinan lemah inilah memenjara di labirin ragu.

Namun sayapun ingin macam mereka yang melakukan hanya demi dan untuk Allah. Mukhlisinalahuddin begitu kata ayat suci.

Titik inilah mengajari saya tentang sesi sukses itu tidak semudah makan baso tanpa mangkuk. Di plastik bisa dan di bentuk lain pun bisa, kan? Cuma kurang nyaman saja. Nanti jadi bahan tertawaan pula lagi. Nasib, nasib jadi manusia takut resiko, ya gini gak maju-maju. 

Serius, gak akan maju? Mari kita ikuti kisahnya di sini saja. haha. (***)

Posting Komentar

0 Komentar