Sikap Mengemis, Sudahkah Kita Lepas?

Seorang pengemis di Gorontalo, Sulawesi Utara, Lutfi tertangkap basah oleh petugas setempat karena kedapatan mengemis. Mirisnya itu profesi hariannya selama 13 tahun ini. Petugas dibuat melongo mendapati saldo tabungannya senilai 400 juta lebih.

Lutfi pun menjadi sorotan publik, keheranan sekaligus greget menyeruak dalam komentar warganet. Walaupun, Lutfi bukan orang pertama yang ketiban sial tertangkap aparat terkait.

Sebelumnya, kitapun dikagetkan oleh dua kakek setengah baya mengemis menggunakan gerobak, dan di gerobak itu ada bungkusan dalam plastik hitam isinya uang ÷50 juta. 

Waw, lima puluh juta itu bukan nominal kecil. Selidik punya selidik itu pendapatan yang dikumpulkannya sehari-hari. Selain itu, masih banyak kasus serupa yang buat kita terperangah. Bisa jadi dia sekitar kita pun hal begitu banyak terjadi, hanya saja belum terekspos media. Mereka terlihat lebih makmur dari yang mujur.

Membicarakan mengemis ternyata tak hanya pada laku meminta berpakaian kumuh, lusuh lagi keliling. Namanya "mengemis" ya meminta dan berharap diberi, apapun bentuk juga rupa.


Tak selalu kumuh, dia bisa berdasi dan bersarung. Intinya, meminta diberi untuk sesuatu yang over kapasitas. Sebab, menegmis itu tak masalah untuk sikon tertentu. Namun kalau sudah menajdi aktivitas lagi profesi tentu bermasalah. Terlebih untuk memupuk harta saja. Tanpa mau bekerja dengan cara baik. Rusaklah nilai sosial kita.

Mengemis ini tak lain hal mengarah pada mental, darah, dan sikap sehingga menimbulkan rendah diri. Tak mau lagi sulit bekerja, toh mengemis juga capek kan; nahan malu dan emosi!

Di sekitar kita banyak yang ingin sukses memotong kompas, ngemis sana-sini tak peduli harga dirinya. Mereka rela kehilangan marwah demi satu tujuan semu. Ingin sesuatu, tak jarang kesucian diri ditawarkan.

Mungkin ini kalau kata pepatah, yang mahal itu bukan biaya hidup tetapi gaya hidup. Biaya hidup itu tak selalu mahal karena semua tergantung pilihan kita. 

Kita misalnya, bisa kok makan di warung angkringan. Tidak terlalu mahal pastinya terjangkau, yang pasti kenyang dan cocok di perut; hanya saja demi prestige kita memilih resto besar. Meski isi kantong klepek-klepek. Semua demi harga diri agar disebut tajir! Meski harga untuk itu nantinya mengemis demi isi dompet.

Kita jangan kira mengemis itu ulah orang tertentu saja, di saat tertentu bisa jadi kitapun melakukan laku tersebut hanya saja belum tersadar. Kita merasa sudah bersih, di sisi lain bersikap ala penjilat. 

Mengemis itu soal mental kita. Solusinya adalah dirubah. Betapa banyak negeri yang penuh dengan konflik dan tak maju-maju, bisa jadi karena banyak orang-orangnya bermental pengemis. Kita terinjak oleh negara kaya, kekayaan bangsa pun digenggam para mafia sedangkan siapa yang diharapkan rakyat mereka sibuk mengemis untuk perut juga kepentingannya.

Agama jelas melarang mengemis apapun jenis dan rupanya. Terutama yang berlebih dan tak tahu diri. Ada disfensasi untuk waktu tertentu, sekali lagi perlu digaris bawahi itu darurat saja.

Untuk itu, menyelesaikan beban sosial terkait penyakit mental ini kita perlu terus belajar jujur pada diri sendiri dan mau kerja atas prinsip benar di tangan. Lebih baik sederhana daripada mewah dapat dari mengemis. Yakin, naluri kamu akan tersiksa. (***) 

Posting Komentar

0 Komentar