Cemburu

Pagi ini, saat mata mulai terjaga aku terdiam. Terdiam dengan sesak di dada. Ada rasa berkecamuk sisa tadi malam. Ini mungkin karena lalai. Melahirkan rasa cemburu.

Ya, aku cemburu pada mereka merajuk di sepertiga malam. Memilih terjaga menahan godaan tidur. Semua demi merajuk dan munajat pada Yang Maha Kuasa. 

Sampai ada di antara mereka yang menitikan air mata. Tanda cinta bergelora, rindu terasa, atau takut pada Pemilik Semesta.

Aku pun cemburu pada mereka yang di subuh buta sudah telah menaruh harap dan mengarahkan pada aurad yang dibaca lagi dihayati. Itu menjadi rutinitas. Tak lagi jadi beban. 

Saat mentari menyapa bumi, ada laku semangat dan ceria di sana. Bukan pura-pura. Lahir dari habbits. Terus mempelopori ide. Gagasan cerdas. Untuk nasib. Demi jaya bangsa dan bukti cinta. 

Aku cemburu. 

Kamu tahu, itu mengganjal di dasar jiwa. Aku yang lemah, saat fajar terjaga masih bertarung dengan gulungan selimut. Sungguh, aku malu. Malu pada masa depan yang bakal nanti dijalani. 

Di mana bukti bakti pada Maha Pencipta? Inginnya surga tapi lampah hanya di mulut saja. Sungguh, tiap pagi aku tersungkur di pikiran jemu. Antara lier dan cemas.

Bagaimana nanti di masa alasan tidak lagi berguna. Ya Allah, hanya maaf dan sesal menjadi tameng. 

Pagi ini, ada sesuatu menembus dasar hati. Sejatinya hidupmu bukan lagi demi untuk pameran saja. Ada konsekuensi yang perlu di perhatikan. Kelak, kamu tidak menyesal. Semua kembali padamu, mau tersadarkan apa disadarkan. (***)




Posting Komentar

0 Komentar