Bisakah Sistem Pendidikan Kita Berkiblat Ke Pesantren?


Selama ini, sorotan terhadap kualitas pendidikan Indonesia masih sering diperbincangankan. Baik kalangan biasa sampai mereka yang ahli di bidangnya. Pasalnya, sistem pendidikan belum sempurna menjawab problematika sosial.

Tak ayal, bongkar pasang kurikulum acapkali terjadi. Sistem berubah menurut siapa menteri yang memegang. Sekilas lalu, kualitas pendidikan ditentukan oleh gonjang-ganjing keputusan politik, bukan harga mati untuk konsisten di jalan yang pasti.

Bagus kalau menteri yang bersangkutan praktisi di bidang pendidikan, sekurangnya dari kalangan yang memahami dinamika pendidikan nasional. Ada harapan bisa memberi terobosan yang dibuat.

Akan lain ceritanya kalau bukan dari dua di atas, rakyat terutama pelajar menelan pil pahit menghadapi kekacauan keputusan nantinya. Bukan saja merugikan hak putera bangsa, untuk waktu yang lama akan menumbuhkan kualitas bangsa yang inferior. 

 Bahasa kerennya, orang lain sudah ke bulan, lah kita sibuk menentukan kendaraan mana yang tepat ditungangi.
Seperti yang kita tahu, keputusan politik biasanya berasal dari lobi-lobi. Dalam kasus ini, penentuan siapa menteri pendidikan bisa juga hasil tarik ulur kepentingan. Wajar kemudian keputusannya sering membuat kegaduhan. Tidakkah kita lelah dengan perdebatan tersebut?

Dalam hal kurikulum pun kita belum punya keputusan final. Dari semenjak merdeka sampai sekarang tercatat lebih tujuh kali berganti kurikulum. Dari yang tujuannya untuk karakter kebangsaan sampai ke arah kepentingan kekuasaan.

 Entah ke depan, apa masih mau membongkar lagi?  

Kita paham, kenyataan ini tandanya pemerintah tidak statis melihat perubahan. Gonta-ganti kurikulum tanda ada respon cepat melihat problematika dan arus perubahan dunia. Tapi efek negatifnya, kita terkesan tidak punya prinsip. Ada yang baru dirombak, terus begitu. Lama-lama yang ditakutkan bangsa kita akan latah terhadap perubahan terbaru.

Dalam konteks jangka panjang, negara tidak memiliki ciri khas dalam sistem pendidikannya. Watak dan karakter bangsa luntur. Di mana kita berpijak pun nyaris lalai disadari. Hal ini bisa saja memicu rendahnya kualitas anak didik kita sehingga hilang rasa bangga terhadap bangsanya. Selain itu, tidak memiliki daya saing terhadap kemajuan global. 

Untuk itu, tidak lah menjadi opsi utama kita terus meniru sistem negara lain yang kualitas pendidikannya bagus, tetapi di saat yang sama kehilangan karakter sebuah bangsa. Kenakalan remaja makin menjadi. Moral dan produktifitas terintegrasi kepentingan sesaat. 

Tidakkah kita menengok ke dalam jiwa bangsa kita sendiri. Merenung dan mencari aset-aset luarbiasa. Bangsa kita memiliki warisan yang kaya. Baik budaya, bahasa bahkan seni. Untuk itu, kenapa tidak kita mencontoh pada lembaga pendidikan tertua di negeri ini?

  Iya, itulah kurikulum pondok pesantren.
Sebuah lembaga berbasis asrama yang berabad-abad masih eksis dan tegak menatap zaman. Dalam pondok muridnya terkontrol dan maksimal terjaga dari pengaruh luar tidak baik. Kualitas fisik dan non-fisik ditempa agar menjadi kader unggul. Berkontribusi nyata untuk agama, bangsa, dan negaranya.

Pesantren dalam perjalanannya tidak kehilangan arah, dalam arus zaman yang serba pemisisif pun survive, tidak kehilangan watak dan kultur-nya.
Menurut Darmeningtyas di situs nu.or.id, mengatakan pendidikan nasional lahir dari institusi swasta, yaitu pesantren. 

Senada dengan itu, Agus Sunyanto dalam buku Atlas Wali Songo menyebut lembaga pendidikan tertua di Indonesia itulah pesantren. Kabarnya, pondok yang kini menjadi pusat pengkaderan Ulama, siapa nyana  hasil dari akulturasi tempat belajar Umat Hindu-Budha.

Tidak sedikit negara lain meniru pola asuh dan kurikulum pesantren untuk diterapkan di negaranya. Pasalnya mereka dibuat takjub atas budaya yang tumbuh di dalamnya. Baik tentang solidaritas, kekeluargaan, kemandirian, dan etos kerja dari persaingan ketat.

Tiga bonus langsung akan kita dapatkan kalau negara tertarik menerapkan kurikulum pesantren dalam sistem pendidikannya. Yaitu kecerdasaan spiritual, intelektual dan kecerdasan emsional. Tiga bekal yang pastinya dibutuhkan generasi bangsa menjalani tantangan peradaban modern. Bangsa besar adalah bangsa yang bisa membaca potensi bangsanya untuk diolah sedemikian mungkin untuk kemaslahatan tumpah darahnya.

Kalau kita baca sejarah bangsa, bukankah tak sedikit pendiri bangsa itu mereka yang besar di dunia pesantren atau paling tidak lingkungan berbasis pesantren. Tengok misalnya Bung Karno pernah dididik oleh HOS Cokrominoto seorang aktivis sarekat Islam. Bisa dipastikan aktivitas lingkunganya seperti apa. Bung Hatta dan Natsir dibesarkan di bumi Minang yang lekat dengan aktivitas Surau-nya.
KH. Wahid Hasyim apalagi, selain lahir dari ulama besar juga besar di lingkungan pesntren sehingga menempa jiwanya pada kecintaan agama dan negaranya. Gerakan kemerdekaan tak lepas darinya. Inisiator itu tak lain KH. Hasyim Asy'ari. Ada juga KH. Ahmad Dahlan dengan sepakterjangnya di dunia pendidikan lewat Muhammadiyah. 

Petinggi negara sekarang semisal Menkopolhukam, yaitu Mahfudz MD pernah mengecup dunia santri. Presiden ke-4 Indonesia yaitu Gus Dur putera sulung dari KH. Wahid Hasyim sudah jamak dikenal namanya di dunia justeru dari pesantren. Tentu saja masih banyak lagi.
Dengan kenyataan ini, layak kita sodorkan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia bisa secara resmi ditiru sistemnya untuk menggodok kader bangsa yang militan. Setidaknya, kualitas pendidikan kita lebih berbasis moral dan kualitas diri tetapi peduli akan isu-isu terkini. 

Memang kita menyaksikan pondok mengalami masa surut. Tak hanya efek globalisasi dengan segala tantangannya, tetapi juga dari oknum-oknum di lingkaran pondok tidak mampu menunjukkan marwah dan nama baiknya.

Terlepas dari itu, kalau produk dari luar sering membuat kontroversi karena tidak relevan dengan kultur dan budaya bangsa yang melekat ketimuran. 

Alangkah baik, kita coba mengkaji serius produk bangsa yang sudah hidup, tertanam, dan terbukti cocok berabad-abad di bumi pertiwi. Semoga saja bisa menjawab keresahan kita akan generasi bangsa nantinya. (***)

Pandeglang,  14 Juli 2022
 

Posting Komentar

0 Komentar