Hikmah Dua Tulisan Kembali Terkapar Tak Dimuat Media Nasional

Ilustrasi dari gagal (sumber gambar, kompasiana)

Kembali dua tulisan saya tidak lolos digelanggang media. Sebelumnya saya berharap tulisan itu bisa bertengger di kancah media nasional. Namun kenyataan bercerita lain, siap tidak siap harus diterima.

Terlepas dari itu meski masih ada rasa kecewa, ada hikmah saya tangkap.

Pertama, tulisan saya bergesekan langsung dengan tulisan Wakil MPR, akademisi, dan pemikir ulung lain, jadi wajar kalau tertolak. Sainganya berat bro? 

Kedua, saya tidak kehilangan semangat. Sebaliknya semakin terlecut untuk lebih semangat lagi berkarya. Terlepas dari itu, hal yang cukup besar amat saya syukuri ialah lingkungan literal di rumah makin bagus.

Bila suatu saat, apa yang saya lakukan dan terus kerjakan tidak mengantarkan apa-apa ke karir cemerlang. kerja peradaban ini hanya kesibukan belaka, tetap saja akan tetap bersyukur. Itu ladang pahala kalau konteks agama dipakai.

Alasannya sederhana, karena mimpi saya yang tidak tercapai bisa digapai atau tersalurkan melalui adik-adik saya. Misalnya hari ini, adik saya menjadi jurnalis. Malang melintang di dunia pemikiran. Bisa bertemu Rocky, Budiman Sudjatmiko, Pak gubernur, Bupati, dan sebaginya. Itu sungguh sebuah anugerah.

Adik yang lainnya fokus di dunia pendidikan Islam, santri. Dunia yang membentuk kepribadian muslim dan menciptakan peradaban panjang modern.

Adik yang lain memiliki skill di dunia design dan entah ke depan bagaimana jalinan takdir mengantarkannya pada nasib. Lepas dari itu, bagaimana kita membangun di sana kita menikmati.

Apa selamanya kamu akan begini?

Mungkin iya atau tidak saya jalani. Saya siapa tampung segala keluh kesah dan cemooh terhadap jiwa. Biarkan semua mengalir, kalaupun tetap begini setidaknya saya sudah menyumbang untuk peradaban. Bukannya karya yang abadi itu di antaranya adalah tulisan. 

Efek tulisan terus ditolak memang dicengkram oleh beban emosional. Ada tekanan moral terasa. Saya sadar, apa yang saya katakan dari apa tertulis di blog dan lainnnya terdengar muskil atau idealis.

Apa yang mereka katakan tentang usia saya, kerjaan saya, sikap saya, pendidikan saya, dan apa yang saya lakukan itu benar semua. Tidak ada salahnya. Justeru itu yang membuat saya terbebani.

Tahu kenapa?

karena apa yang mereka katakan pada tataran normal dan saya tidak mau itu. Saya ingin suatu saat, apa yang saya lakukan tercatat sejarah. Sejarah mencatat untuk anak-cucu saya ternyata kakek buyutnya peduli pada kerja peradaban, yaitu literasi. Di sinilah beban sekaligus peradaban adalah amanah setiap generasi. 

Kita hari ini sejatinya akan mewariskan untuk generasi nantinya. Begitu seterusnya.

Pertanyaannya bukan pada apa yang harus dilakukan tetapi harus sudah melakukan apa. Sedikitnya tengah melakukan seminim apapun itu. Bukan lagi rencana tanpa aksi.

Oleh karena itu, ternyata apa yang saya kerjakan tidak selalu tidak memiliki esensi. Ada cuma masih kecil. Itu saja. Hem, masa iya harus kecewa? (***)

Pandeglang |  22 Juli 2022

Posting Komentar

0 Komentar