Dulu, Banjir Jakarta Dibilang Adzab, Terus Sekarang Apa?


Sekitar tahun 2016 silam, Jakarta diguyur hujan lebat sampai beberapa kawasan di rendam banjir. Termasuk Istana Negara tidak ketingalan digenangi, walaupun Paspamres setia menjaga kawasan tersebut. Mana peduli banjir kelas sosial tertentu. Gusur terus.
Kebetulan saat itu dinamika politik Jakarta tengah memanas. Banyak kalangan menyebut Jakarta ketiban azab. Kenapa begitu? Sederhana jawabnya, karena DKI 1 kursinya dipegang Ahok. Notabene non muslim dan terkenal garang.

Anehnya, kenapa yang ketiban Azab tak hanya di bawah kepemimpinan Ahok saja? Kalau benar alasannya non-muslim.

Setelah Ahok turun dari masa baktinya banjir seolah tidak kapok merendam Jakarta. Padahal banyak yang keki atas hadirnya. Tahun 2021 Jakarta terendam, bahkan BPKD DKI baru ini mewanti warga jakarta siaga karena ada kemungkinan banjir rob merendam kawasan pesisir Jakarta.

Apakah ini bisa diklaim Jakarta terkena azab pula? Terus gimana, bila Jakarta ditimpa banjir meski beda pemimpinnya, apa masih berlaku ketiban azab itu?    

I. Dari Dulu Jakarta Udah Banjir

Anehnya, kenapa istilah "azab" baru muncul di masa kepemimpinan Ahok saja. Sedang sejarah mencatat, banjir itu termasuk langganan yang kerapkali menayapa Jakarta. Tidak hanya di masa Ahok.

Edy Sedyawati dkk, dalam Sejarah Kota Jakarta mengatakan bahwa penyebab banjir itu karena kondisi lingkungan yang di aliri 10 sungai tetapi bermasalah dengan drainse-nya. Singkatnya, bukan sebab tokoh.

Tak hanya itu, di masa perang dunia pertama, saat kekuatan dunia tengah adu kehebatan Jakarta disibukan dengan banjir. Berjibaku mengusir tamu musiman itu.

Zaenudin HM di Banjir Jakarta mengungkap fakta bahwa banjir Jakarta sudah dari masa kerajaan Tarumanegara di abad 5 masehi. Ada prasasti menyebutkan, demikian Kompas menulis.

Waw, ini miris sekali. Betapa berkelanjutan Jakarta ditimpa azab, bentuknya banjir itu. Kalau rumus banjir karena pemimpin belaka. Sebab KBBI sendiri mengartikan azab itu siksaan yang ditimpakan Tuhan. Artinya, sudah berapa ratus tahun Jakarta "di-azab" karena pemimpinnya.  

Di saat yang sama kesadaran masyarakat terhadap sampah dan lingkungan amat minus. Sampah menggenangi saluran air, sungai, dan sekitar lahan warga yang kosong. Sebagian kita luput dari kenyatan itu.
Tak hanya itu, sampah kalau di definisikan secara luas, juga menggenangi moral pemegang kekusaan, sehingga kurang aktif membenahi kondisi sosial. Pikiran sampah pun meracuni kebijakan politiknya menjadikan rakyat bermental sampah. Gampang mengeluh dan mudah terprovokasi. Pastinya, bau dan memuakkan sekali.

II. Alam Pun Marah

Alam punya hukum tersendiri, itulah siklus. Siklus itu bagian dari eksitensi alam melindungi raganya. Saat manusia marah dilecehkan maka alam pun sama. Berapa kali kita ditegur, ironisnya tidak kunjung sadar. Lama-lama alam pun eneg dibuatnya.

Bahkan di fase tertentu alam tak hanya dilecehkan tapi diperkosa rame-rame. Harus kita tahu, alam juga punya sensitifitas dan harga diri macam kalangan Santriwati yang diperkosa Mas Subehi, predator seks itu. Diam tak akan menyelesaikan masalah. 

Kemarahan alam tak terbendung lagi. Bedanya, korban keganasan predator seks itu lapor Polisi. Kalau alam munajat pada Penguasa alam dan seisinya. Terjadilah banjir. Banjir itu simbol kecil marahnya alam, tanda sudah eneg menyaksikan kebiasaan buruk kita. Sungai tercemar sampah rumah tangga dan produksi pabrik. Betapa ngeri melihat ekosistem kita diperkosa tangan jahil manusia. Di saat yang sama kita saling lempar permasalahan.

III. Cerdas Membaca Persoalan

Sebagian kita mudah sekali men-justice atas realita sosial akibat respon tidak suka pada satu tokoh. Beda pilihan politik. Tak jarang agama dijadikan "alat" dan "klaim kebenaran" untuk menyudutkan siapa yang tak sejalan seperti banjir misalnya. Syukur banjir gak menunjuk balik, kalau menunjuk balik? Matilah kita!

Banjir adalah masalah klasik Jakarta. Sejarah di atas telah dipaparkan. Lebih dari itu, baik di masa kepemimpinan Sutiyoso, Fauzi Bowo sampai Anies Jakarta tetap disapa banjir. Bukan tengah membela Ahok, penulis berharap kita cerdas membaca fenomena.
Kalau kata orang, Jakarta, banjir, dan macet adalah  tiga hal yang tak terpisahkan dari Ibukota kita. Faktanya, Setiap pemimpin Jakarta dibuat kesulitan membongkar cara bagimana banjir hengkang di bumi Betawi tersebut. 
IV. Penutup

Kesalehan sosial itu wujudnya kecerdasan dan kepekaan terhadap lingkngan. Agama buka sampai pada tataran ibadah pribadi saja. Harus ada implementasi untuk kehidupan nyata. Bermasyarakat dan bernegara.

Untuk itu, melihat fenomena Jakarta dengan banjirnya kita harus cerdas. Tidak sekedar bicara, perlu memberi dan mencari solusi bersama.

Banjir itu akibat kecerobohan dan kebiasaan buruk kita. Kebiasaan buruk yang bermetamorfosa pada mental lalai lagi abai terhadap alam. Itu PR kita bersama.

Alam yang telah menyuguhkan maupun memanjakan kita dengan sumber dayanya, tapi kenapa di antara kita serakah mengeksploitasi demi kepentingan individu dan kelompoknya saja. Seharusnya kita menajdikan alam sebagai sahabat karena dasarnya kita saling membutuhkan.

Mau sampai kita terus dicekcoki istilah tertntu. Di saat yang sama kehilangan nalar kritis akan kerusakan alam, kita menunggu rusak dulu baru heboh. Jangan sampai kita menyesal setelah alam puas dijamah, alam diam sehingga tidak lagi peduli dengan nasib anak cucu kita kelak. Kira-kira, bisakah kita saling mengoreksi bukan saling lempar kebencian? (****)

Pandeglang, 12 Juli 2022

Mahyu An-Nafi

__________________

Nb: ini tulisan ke sekian yang gagal dimuat  di situs Mojok.co.

Hmp, semangat aja deh. Haha. Cemungut.

______

Halo :)

 

Kami ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda mengirim naskah ke Mojok. Artikel Anda sudah kami terima dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun.


Jika naskah Anda layak muat, kami akan segera menghubungi Anda. Namun, jika dalam waktu maksimal 5 hari tidak ada balasan dari kami, naskah dianggap gugur. Anda boleh mengirimkannya ke media lain, mempostingnya di blog, mendiamkannya saja, atau mengunggahnya di platform Terminal Mojok lewat cara ini dan ini.

 

Semoga hari Anda menyenangkan. 

Redaksi Mojok.co

Posting Komentar

0 Komentar