Kerut di Wajah Emak dan Uban di Rambut Bapak

Potret Masa Sepuh

Usia tidak menipu, berapa pun majunya peradaban kita akan kalah oleh siklus hidup. Tua pasti menyapa untuk siapa yang memiliki kelebihan usia. Nasib atau takdir adalah dua hal yang muskil lagi pasti bagi setiap insan.

Di usia orangtua, keduanya menjelang senja, saat diam-diam aku perhatikan; ada wajah lelah di muka Emak dengan sisa cantik masa muda. Kerut menambah ciri bahwa telah panjang sekali pahit getir dijalani.

Di rambut bapak pun ada uban terlihat dan gejala rhematic merayap di kakinya menjadi ciri bahwa kini tubuhnya mulai melemah. Tatapan yang kuat mulai menjadi senja.


Kerutan Wajah


Di titik ini, aku bertanya: apa yang telah aku berikan untuk keduanya? Apakah atas hadirku di dunia sudah ada senyum bangga di raut muka keduanya? Bagaimana bisa menghadirkan sesungging senyum bahagia?

Semua menjadi renungan lama, dan sejatinya, setelah tua pula kita akan ke mana pula?

Masih adakah bangga sedangkan saat-saat mendebarkan akan datang di waktu kita tanpa sadar?



Tua, senja atau sepuh ialah istilah yang kita buat untuk menjadi pengingat, renungan dan cambuk  bahwa hidup di bumi tiada kekal. Ada masa di mana semua akan jadi cerita. Jadi kenangan belaka.

Kita yang kini masih terjaga, esok akan tinggal nama. Begitupula orangtua kita, tengah menunggu masa yang mengantarkannya pada warna cerah-kah atau warna gelap. Semua tergantung kita menjalani dan menyikapi sisa nafas ini.

Kembali pada sosok Emak dan Bapak, di sana sudah terlihat sisa-sisa kerja keras yang meminta perhatian dan rangkulan. Seolah masa bhakti-nya sudah cukup, dan  kini menunggu tuaian apa yang di tanamnya.

Kita sejatinya ialah tanaman orangtua kita. Kita dikandung, erami, di beri pelajaran, dan diharapkan mampu menjadi bibit unggul yang dapat berbuah jenis makanan lezat nantinya.

Hari ini, saat kita sudah dewasa, sudahkah kita memahami bahwa tugas itu telah ada di pundak kita?

Kita punya masalah, ingin mengeluh dan lari dari tugas bhakti pada orangtua dengan tatapan sinis, padahal orangtua kita pun sama dulu seperti itu.  Tetapi keduanya spakat untuk tidak mengeluh apalagi lari dari tanggung jawabnya sebagai emak-bapak.

Kamu yang selalu lalai dan  terus menuangkan sesal di raut wajah orangtua, cobalah sejenak berpikir dan merenung betapa menjadi sosok orangtua itu tidak mudah. Ada tangis, sesal, ceria, dan rasa nano di sana.

Atau bayangkan kamu jauh dengannya, apa ada yang lebih memahami keegoisan kamu selain keduanya?

Saat kamu merajut di tengah malam, mengganggu tidur dan istirahat malamnya; kamu yang ingin sesuatu yang memilih ngambek dan tak mau melihat keadaan orangtua; dan tentu saja kamu yang terus menggores luka di jiwanya sedang kamu tak pernah coba menyadarinya.

Ya, kita anak yang terus menanam luka dengan sayatan tajam di sana, belum juga sembuh terus kita tambah dengan aneka tusukan ngeri di bagian tubuhnya.

Aduhai, bagaimana kalau esok kita menemukan mereka telah terbujur kaku?

Sebelum menyesali nanti, mari tulus membaktikan diri pada keduanya. Tanpa pura-pura dan lupa pada cinta tulus yang telah dierikan pada kita. Ya Allah, berilah cahaya dan harmoni di jiwa keduanya sampai nanti sampai di jannah-Mu. Aamien. (*)

Pandeglang | 24 Februari 2022

Posting Komentar

0 Komentar