Gara-Gara Ngaji di Speaker

"Eh Din," kata suara dari seseorang.

"Ya bah," jawabku singkat.

"Itu ngajinya jangan terlalu dekat dengan mic!"

Bruk! 

Seperti ada benda tajam memukul kepala. Jelas dan amat nyata, di depan mata lagi. Aku yang tengah semangat tilawah mndengar larangan suara itu, otmatis begitu saja hilang semangat. Mau gimana? Aku yang bukan siapa dan belaiu yang tokoh sudah pasti jelas statusnya. Apa arti "jangan dekat ini", apa harus jauh atau menjauh?  Atau tak usah memakai mic sekalian?

Kalian mungkin berpikir, kok aku baperan ya? Iya mungkin, tetapi aku punya alasan utuk baper. Tokoh itu yang tadi malam mengagetkan aku bukan sekarang saja "melarang aktivits penggunaan speaker" di masjid.

Tahun kemarin pun suara pelarangan itu terdengar, diujarkannya di depan publik. Tadinya aku anggap biasa saja, akan tetapi dengan terus suara penolakan digaungkan ada suara kebebasan ditahan. Bukankah kebebasan hak setiap insan?

Tak hanya tadarus harus dibatasi, bahkan adzan dan tahrim juga yang lain pun ikut kena imbas. Aku bukan orang pertama yang kena "damprat" dari beliau itu, ada anak-anak berbakat lain yang ultmatum olehnya. Alasannya klise: mengganggu ketenangan dan tidur. Udah itu saja.

Mikra atau tadarus al-Qur'an dibatas hanya di waktu tertentu dan dengan posisi tertentu pun alasanya agar tidak mengganggu aktivitas tidur malam. Ya Allah, tidur terganggu! Gak ada alasan lain atau dalil syar'i digunakan.

Terkait hukum tadarus di Masjid aku sendiri pernah debat dengan seorang ustadz muda. Katanya hukum tadrus itu haram hukumnya. Lagian yang tadarus itu hanya cari simpati dan pnegn dipuji doang. Tak ada maslahat-maslahatnya, apalagi kalau malam kan itu gangu orang istirahat; di mana letak manfaat itu?

"Tapi kan ada syiar itu!" tuksku.

Syiar juga gak gitu juga. Kalau ma tadrus ya silakan shaja, syaratnya tak usah memaki spekaer masjid. Jangankan banyakan tergangu, satu orang saja tergaangu dngan adanya tadrus di Masjid maka hukumnya bisa haram.

Aku yang belum menerima dengan dalil diajukan ustdadz mua itu kembaali menyergah, "kalau bnar satu orang tergangu dengan tadarus di Maasjid, kenapa tidak diadakan survey di lapangan: lebih banyak yaang suka mndengar tadarus atau yang terganggu."

Kalau banyak yang terganggu, fine kita gak usah gnakan lagi speaker. Untuk apa digunakan kalau terus terdengar suara pertentangan. Sebaliknya, kalau banyak yang snang dengan adem tdrus di speaker Masjid maka yang lain harus legowo menerima.

Begitu lebih aman dan adil. Daripada diputuskan secara sepihak tentu tidak baik juga untuk keragaman warga. Walau bagaimana pun sebagai tokoh tidak bijak memutuskan suatu hukum tidak mempertimangkan suara mayoritas warga.

Tetap saja Ustadz itu tidak menerima argumen yang aku utarakan, ya sudah. Aku sih, fine-fine saja. Keberatan bukan karena aku tidak bebas tadarus  di mic, mungkin lebih kepda kualitas ktrbukaan akses bakat anak muda ke depan gimana.

Dengan ragam pelarangan bukankah tidak sehat untuk minat anak muda kita? kemjauan iptek berpengaruh sekali terhadap kualitas moral anak muda kita. Banyak  yang kehianahn jati diri an lepas dari nilai etis istiadat, kalau mereka "tidak diberi ruang" bagaimana nantinya?

Sharusnya Masjid menjadi benteng penggodokan moral muda kita, beri mereka jalan dan betah tinggal di Masjid. Kita itu kadang aneh, ketika marak kenakalan remaja hanya bisa mencemooh. Solah cukup melkukan itu, tetapi lupa dengan faktor urgent-nya ialah turut aktiif merangkul kalangan muda agar sadar dengan kewajibannya apa. 

Omongan tanpa refleksi apa artinya? tidakkah mereka khawatir dengan efek negatif modernisasi yang merunntuhkan bangunan moral dan menipiskan kualitas iman kita. Tiadk hanya terus memfokuskan pada kenyamaann diri dan ego sentris belaka.

Sudah bukan saatnya lagi anak muda terus dikungkung oleh kepentinga semu. sudah saatnya mereka diberi ruang untk berbicara dan leluaa mengolah bakatnya di depan publik. tugas tettua dan tokoh ialah membimbing warganya, bukan sekedar melarang tanpa esensi apa-apa.

Lupakah mereka suatau saat nanti akan ditanya atas wewwnangnya selama ini? Sudahkag digunakan seperti adanya? sudahkah membiming warga dan mengarahkan pada apa yang Allah ridha dan rasul bahgia menyakiskannya? sejatinya glar tokoh, ustdaz, dan perangkat soisal adalah amanah yang wajib ditunaikan. 

Oleh karena itu, tokoh masyarakat punya PR besar abgaimana seharusnya menndidik warganya dengan kepala dingin dan keijaksanaan. Apa yang menimpa aku semoga janagn sampai menimpa anak muda lainnya.  Sudah cukup kesewenangan dan sikap anti syiar yang ada. 

Ke depan musyawarah dan dialig harus menjadi cara utama memutuskan apa yang berhuungan kperntingan warga. Kita perlu warga yang akur, bahagia, harmoni, dan islami. Hal itu bisa terjadi dengan kerebukaan elemen masyarakat mengelola entingan bersama.

Akankah itu terjadi adalam  waktu dekat ini? Atau, hmm, himbauan Pak Menag juga suara kepanjangan dari mereka? Semoga makin baguslah ke depan kualitasnya , insya allah. []

Pandeglang | 17/4/2022

Posting Komentar

0 Komentar