Kasus Cerai Menjadi Tontonan, Kok Bisa?

Ilustrasi Percerian / Medcom.id

Ada kabar cukup mengagetkan terkait tren perceraian di tengah masyarakat. Pernikahan yang dianggap sakral kemudian tergerus oleh kemajuan apatis penuh paradoks.

Dilansir dari situs databoks.katadata.id, menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Tanah Air mencapai 447.743 kasus pada 2021, meningkat 53,50% dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus.

Laporan ini menunjukkan kalangan istri lebih banyak menggugat cerai ketimbang suami. Sebanyak 337.343 kasus atau 75,34% perceraian terjadi karena cerai gugat, yakni perkara yang gugatannya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan.

Sementara itu, sebanyak 110.440 kasus atau 24,66% perceraian terjadi karena cerai talak, yakni perkara yang permohonannya diajukan oleh pihak suami yang telah diputus oleh Pengadilan.

Berdasarkan provinsi, kasus perceraian tertinggi pada 2021 berada di Jawa Barat, yakni sebanyak 98.088 kasus. Diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 88.235 kasus dan 75.509 kasus.

Situs berita Kompas sendiri melaporkan lebih dari 70% perceraian dilakukan oleh wanita. Hal itu dipicu oleh pertengkaran, perselingkuhan sampai pada KDRT.

Di layar kaca kita disuguhi tontonan betapa maraknya angka kawin-cerai para selebritis tanah air. Ada saja terekspos media sehingga menjadi topik menarik untuk dibincangkan kawula pecinta gosip.

Sampai banyak dari mereka lupa itu bukan tanahnya mengorek aib orang, karena setiap orang selalu berharap ranah pribadinya tidak ingin dikorek juga menjadi konsumsi harian warga sejagat.

Pada akhirnya ini berefek tontonan pun menjadi tuntunan. Betapa banyak di sekitar kita kasus perceraian yang marak terjadi bukan karena hal yang fundamental. Rata-rata terjadi karena motif WIL dan PIL maupun faktor ekonomi loyo. Atau bosan dengan rutinitas macam orang penuh publistis!

Saya punya teman, dia sudah berkeluarga, memiliki tiga buah hati  manis, dan keseharian terlihat romantis. Rasanya tak ada cela. Baru-baru ini saya dikagetkan kabar bahwa hubungannya kandas. Terdengar kabar juga ia tengah memadu kasih dengan wanita lain.

Saya tentu pantas kaget karena tak terdengar berita apapun. Kalaupun boleh menduga, saya pikir faktor ekonomi menjadi alasan terbesarnya.

Pandeglang pernah pula digegerkan dengan laporan dari Pengadilan Agama yang mengatakan bahwa angka percerian tinggi. Dari kasus yang ada terjadi pada pasangan menikah muda dan adanya orang ketiga dalam biduk rumah tangganya. 

Menyaksikan fenomena ini kita tentu layak bertanya: apa motif sebagian mereka menikah? Benarkah alasanya agama menjadi pondasi awalnya langkah? Atau jangan-jangan ada sesuatu yang salah dengan langkah juga pilihan pra-menikah?

Seperti yang kita tahu, menikah ialah di antara tujuannya melahirkan generasi unggul. Generasi yang nanti akan melanjutkan kelangsungan hidup manusia di bumi. Kelak ditangan mereka peradaban manusia dipegang. 

Meski demikian, patutlah kita tenang kalau bangunan anak-anak itu ditanam dari bibit yang rapuh lagi gersang. Betapa banyak mental anak terganggu oleh percerian kedua orangtuanya, mereka pun bingung memilih ke mana memihak, belum lagi stigma broken home yang kedapatan pada kasus kriminal.

Tentu saja kita pun harus jujur, tidak semua kasus perceraian itu salah-tidak berhak disalahkan dan anak broken home tidak ada yang produktif. Banyak mereka diselamatkan dengan memilih perceraian tersebut.

Fokus tulisan ini tengah menyoroti feneomena cerai yang dilakukan karena dibangun landasan rapuh lagi emosional. Maka, semoga banyak pihak lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu. Apalagi itu menentukan nasibnya ke depan dan anak cucunya kelak. Cukuplah kita belajar dari tangis anak-anak yang menjadi korban egoisme orangtuannya. Wallahu 'alam.[]

Pasar Pandeglang |  25 April 2022

Posting Komentar

0 Komentar