Review Film Perempuan Berkalung Sorban


Film besutan Hanung Bramantyo ini diambil dari novel karangan Abidah El-khalauqe dengan judul sama. Dibintangi oleh artis papan atas indonesia, di antaranya Revalina S. Temat, Reza Rahadian dan lain-lain. 

Film ini bercerita tentang pemberontakan jiwa dari seorang anak kiai kondang di Jatim. Anisa namanya. Letak pesantren di pesisir menambah kesejukan. Anisa sebagai wanita ia merasa termarginalisasi hak-haknya sebagai manusia. Kenapa laki-laki diberi kebebasan sedangkan wanita diberi kungkungan dengan banyak alibi. 

Atas sikap anakknya, ayahnya, Kai Hanan tegas melarang apa yang disuarakan anak gadis semata wayangnya. Baginya, pikiran anaknya berbahaya dan menyalahi kodratnya. Bukankah seharusnya wanita itu cukup di Sumur, kasur, dan dapur? Anisa tidak melarang adagium itu. 

Hal itu terjadi saat makan malam bersama, Anisa kecil merajuk pada ayahnya, "pokoknya Nisa pengen belajar naik kuda," pintanya pada ayahnya. Kontan sajaa itu mengagetkan dua kakaknya dan ibunya yang khusyu makan. 

"Tidak boleh. Kamu itu wanita. Anak kiai lagi. Tidak pantas melakukan hal tersebut." Tegas Kiai Hanan melarang.

"Tapi kan yah, di zaman dulu juga isteri rasul menaiki unta. Itu di perang jamal. Ada para sahabiah menaiki kuda juga. Terus kenapa Nisa di larang?"

"Pokoknya gak bisa! Apa kata orang nanti."

"Tapi kan, yah..."

"Gak ada tapi-tapian." Namun Anisa terus mendebat ucapan ayahnya sehingga memancing emosinya.  

Brakk!!!

Meja makan dipukul ayahnya. Serentak semua diam. Raut wajah Kiai Hanan nampak merah menahan marah. Ibu Nyai diam serba salah. Dua anak lelakinya diam membisu. 

'Pemberontakan' Nisa semakin meradang. Terjadi saat pemilihan ketua kelas. Ada dua calon yang dipilih: laki-laki dan Nisa sendiri. Saat voting berlangsung suara Nisa lebih banyak. Artinya, seharusnya Nisa menang. 

"Silakkan kembali ke tempat masing-masing anak-anak," kata Pak Guru. lanjutnya, "Hasil suara menentukan bahwa Nisa sebagai pemenangnya. Tanpa mengurangi nilai Pancasila, akan tetapi dalam Islam tidak boleh wanita menjdi pemimpin. Maka untuk itu, kepemimpinan kita serahkan pada Rijal," kata guru itu. Tepuk tangan bergemuruh. Meski banyak yang kecewa. 

Anisa nampak tidak menerima kenyatan ini. Ia pun kabur dari kelas, pulang ke rumahnya. Atas sikapnya ini, Kiai Hanan marah-marah dan mengejar Nisa sampai rumah. Nisa yang takut dikejar ayahnya kabur ke sana-sini sampai masuk ke kamar mandi. 

Di sanalah Kai Hanan meluapkan kemarahannya. Ibu Nyai dan santri yang mengejar hanya bisa teriak histeris di luar. Mereka gak bisa berbuat apa atas sikap jumud kiainya, pikiran konservatif itu terus terpelihara seolah itulah ruh Islam dan wujud ajaran Islam sendiri.

Hanya Chudori yang mampu memahami pikiran dan keresahan hatinya. Chudori itu paman Anisa dari pihak Ibunya yang nyantri di sana. Dia sering curhat ke pamanya itu terkait pikiran bebasnya. Baginya, Islam itu tidak adil kepada wanita. Padahal tiap manusia punya hak sama di depan hukum, bagaimana mungkin dunia pondok tidak memahami ini?

Kedekatan ini pada akhirnya melahirkan benih-benih cinta di hati keduanya. Debur ombak asmara meluluhlantakan api ceria di wajahnya. Tiap pertemuan melahirkan bahagia karena itu obat dari rasa rindu nan mengelora di alam jiwanya. Namun dunia nampaknya kurang bersahabat dengan cinta itu, restu itu terhalang oleh tali kerabat. 

Apa rasa itu harus diperjuangkan?

Bagi Anisa kecil yang merasa termarginalkan ya, rasa itu perlu diperjuangkan. Tidak untuk Chudori. Entah karena ciut duluan atau punya alasan lain memilih meninggalkan Anisa untuk study ke Al-Azhar University Mesir. Hati Anisa sakit bukan kepalang. Kecewa pasti. Mau gimana, hidup harus tetap dijalani.

Meskipun jarak terpisah jauh komunikasi lewat surat-menyurat terus terjalin sampai pada suatu waktu, Kiai Hanan kedatangan tamu. Itulah Gus Samsudin dengan keluarga besarnya. Gus Samsudin datang untuk silaturahim dengan tujuan pula mengahrap mereka menjalin tali kekeluargaan. Ayah Samsudin itu donatur tetap Pondoik al-Huda yang dipimpin Kiai Hanan. Selain itu, ia memiliki pesantren yang cukup besar juga. 

Perjodohan itupun terjadi. Anisa tak bisa berbuat banyak, terjadilah pernikahan itu. Meski tanpa dasar cinta. Pasca nikah, bukan kebahagiaan yang diterima. Atas modus agama, Samsudin berbuat sewenang-wenang. KDRT acapkali terjadi. Demi nafsu dan syahwat belaka. Bertahun-tahun terjadi. 

Di fase inilah, Chudori pulang dari Mesir. Masa studi-nya selesai. Kembali mengabdi di pondok. Pertemuan itu tak bisa terelakan. Rasa yang belum mati bercampur kecewa pun makin bergemuruh. Anisa ingin lari dari kenyataan. 

Saat pertemuan mereka di dalam kandang kuda, Anisa ungkapkan kegundahannya dan bagaimana selama ini Samsudin memperlakukannya. Ia sudah capek lagi lelah. Saking terpukulnya, akal sehatnya nyaris hilang. Ia buka kerudungnya. Ia akan buka busana yang dikenakannya. Namun Chudori cepat melarangnya. Dan tak lama, terdengar suara ...

Brukk!!

Suara pintu dibuka paksa. Samsudin bersama santri senior masuk dan langsung menangkap mereka dengan beringas. Melihat penampilan Anisa yang tak lagi berkerudung rapi, mereka menuduh keduanya telah berzina. Mereka seret ke liar sambil teriak: zina, zina, zina!

Di luar kandang masa sudah berkumpul ingin menghakimi keduanya. Yang mereka tahu, keduanya telah berzina. 

"Mereka telah berzina!" Teriak Samsudin. 

"Apa bukti keduanya berzina?" Tanya Nyai yang baru datang bersama Kiai Hanan dan dewan asatidz. 

"Mereka saksinya," teriak Samsudin sambil menunjuk dua santri tadi yang menemaninya. Kerudung itu jadi buktinya. 

"Rajam! Rajam!" Teriak masa yang dikomporin Samsudin. Satu per satu santri melempari keduanya dengan batu. 

"Tunggu!" Kata ibu Nyai. "Hanya Mereka yang bersih dari dosa boleh merajam keduanya."

Semua mundur karena merasa tidak sempurna. Kiai Hanan menyaksikan kondisi itu, jatuh dan tak sadar diri. Tak lama wafat. 

Ending dari film ini Anisa menikah dengan Chudori dan memiliki satu putra. Namun Chudori meninggal pada kecelakaan. Meskipun begitu, Anisa terus memperjuangkan cita-citanya tentang kebebasan. Walau rintangan tak henti ada, ia tak kalah. Sampai pada akhirnya berhasil membongkar pikiran jumud di pondok itu dan membuka perpustakaan umum. 

Sebuah lakon dan gerakan yang baik mengangkat isu sensitif gender di dunia pondok. Berani dan tetap memperhatikan etika sisi lain problematika santri. Untuk lebih lengkapnya, silakan tonton film-nya. Sampai ketemu lagi. (***)

Pandeglang |  19/5/2022

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Akhy sedikitnya ana tau tentang film ini, kira-kira yg dilakukan anisa itu kira benar atau tidak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ukurannya benar atau tidak, keduanya punya landasannya Kuat. Saya lebih nyaman menyebutnya mana yang paling baik ya.

      Ini pun tergantung tempatnya. Intinya, asal wanita tidak lupa kodrat dan berangkat dari dalil berdasar maka fine saja memilih jalan kafir dan hidupnya. Begitu sih.

      Hapus

Menyapa Penulis