Tadi Wafat Tetangga

Prosesi Salat jenazah (dokumentasi pribadi)

Tadi siang ibunya tetangga se-RT meninggal. Beliau wafat karena sakit yang dideritanya. Sudah lama juga dirasakan. Tadi pagi menjelang siang meninggal di tengah keluarga besarnya. Lucunya, saya baru tahu beliau setelah wafanya. Beliau tinggal di kampung.

Di kuburan pun aku melihat siapa yang merenungkan hakikat hidup atau justeru masih tertawa menertawakan kebodohan orang-orang yang polos. Aku sebagai manusia yang memang hidup dan terus mempelajari hakikat hidup terdiam di sudut liang lahad, jiwaku memberontak pada diriku,

"Apa yang dapat kau bawa ke sana?"

Ada yang datang ada yang pergi dari dunia ini. Itu kepastian. Mau tua atau muda pasti ada saatnya. Saatnya wafat yang kita cari bukan lagi dunia dan popularitas yang sering kita harapkan.

Kematian itu nasihat, begitu sabda Nabi. Nasihat untuk kita yang hidup dan peka dengan hakikat penciptaan hidup. Dari jenazah itu, dari masjid sampai kuburan saya dibelakang. Saya melihat wajah berduka, yang tertawa, tersenyum dan biasa saja. Semua ada. 

Pada kematian, ada yang masih setengah percaya!

Di kuburan pun aku melihat siapa yang merenungkan hakikat hidup atau justeru masih tertawa menertawakan kebodohan orang-orang yang polos. Aku sebagai manusia yang memang hidup dan terus mempelajari hakikat hidup terdiam di sudut liang lahad, jiwaku memberontak pada diriku,

"Apa yang dapat kau bawa ke sana?"

Apalagi pas dibacakan talqin. Sejatinya itu nasihat untuk siapa yang hidup dan harapansi jenazah. Itu yang kita yakini sebagaimana dijelaskan dalam kitab daqoiqul akbar; bagaimana peristiwa mati sampai ke kuburan serta selanjutnya adalah perkara haq.

Maut itu hak. Hari bangkit itu hak. Perkara yang sementara orang ragukan adalah sebuah kepastian bagi yang mempercayai dan pernah mengalami. Kita yang hidup mungkin bisa lalai, entah nanti.

Kalau harus jujur, tadi juga aku agak malas untuk  mengantarkan jenazah sampai kubur. Bukan menyepelekan, tapi badan kok keringat agak dan mata pengen tidur cantik. Ada malunya juga, takutnya ada yang berpikir, sama orang kaya aja hadir tetapi sama mereka yang biasa alasan sibuk.

Apalagi dengan pahala satu qirot untuk yang menyalati dan bakal ditambah  satu qirot lagi bagi yang mau mengantarkan sampai kubur si almarhum. Ukuran satu qirot itu sekitar pahala sebesar gunung uhud di Mekah sana. Betapa besar dan menarik pahalanya.

Untuk itu, aku gebreskan rasa malas itu. Rasa kantuk aku lawan sebisanya. Sepanjang jalan itu aku merenungkan, "Ini nyata jiwa, esok atau lusa kau akan datang gilirannya!" (**)

Pandeglang, 3 juni 2023   18.55

Posting Komentar

0 Komentar