Di balik Rahasia

Di balik tatapan kosong. (sumber foto: Pixabay.com)


###

Jangan mencari siapa yang salah karena tak ada orang yang mau  disalahkan. Apalagi hanya untuk hal sepele. Kamu tahu, menuduh itu tidak baik tapi kita adalah makhluk curiga. Kita lebih suka curiga dari pada bertanya, atau menyela daripada berpikir.

###

Jalanku masih gelap, entah ke mana perahu ini membawaku. Pelabuhan demi pelabuhan telah aku singgahi. Pada jadinya samudera kembali aku arungi, aku ingin rehat. Sulit sekali.

Hidup ini perjalanan, begitu kata Imam Ghazali. Ada saat kita akan kembali ke kampung abadi. Saat itu, yang kita butuhkan adalah bekal.

Aku berpikir, sudah sebanyak apa bekalku?

Sering aku cemas, entah kenapa konsisten sulit sekali. Di mana aku merenungkan sejatinya hidup untuk terjaga, di mana saja kita berada. Di situ harus terus berjalan, diam kadang melelahkan.

###


Jika hati adalah kertas, mungkin ia penuh dengan coretan yang sudah kita hapus. Sayangnya bekasnya masih terlihat. Sepintar apapun kita tutupi, tetap saja bintik terlihat nyata.

Hati itu ada di dasar jiwa. Siapa yang tahu itulah ia yang merasa. Berusaha menciptakan kenyamanan, melahirkan keamanan dan meski ada pengorbanan.

Siapa yang tahu? Ia yang tidak lelah memahami dan ingin berbagi dengan rela, dengan cinta, dengan tulus adanya. Segala yang buat ia nyaman, begitu ia berikan pada siapa yang beri rasa nyaman.

Hati mungkin tersembunyi, tapi sikap adalah nyata. Yang merasa itu ia yang peka. Tanpa kata ia bisa menebak dengan jiwa, karena hati yang terbuka mudah membaca; mana pura-pura dan mana yang dusta belaka.

Siapa yang lelah? Mungkin ia yang mencari kepastian di samudera ketakutannya.

###

Bagiku kata adalah teman yang harus aku rangkul. Bagaimana kala dingin terasa, sesak menggemaskan jiwa dan mood didera kecemasan. Aku butuh ruang untuk setia menamani sampai aku terlelap menemani, di samping membisikkan, "Kamu bisa. Kamu kuat. Yakin!"

Di saat mata terpejam, aku yang masih terjaga, sesekali menahan hasrat bersama. Kata-kata setia berujar, "ungkapkan keluhmu. Karena aku ada tanpa harus kau minta. Aku setia tanpa harus kau paksa. Ungkapan sampai jiwamu lega. Sebab, esok adalah perjuangan lagi."

Di saat fajar menyapa, kata pun berkata, "Temukan aku di buku harianmu. Sebab aku, adalah curahan hatimu yang menemani galaumu. Aku yang tahu saat kau di titik rendah, di mana kamu merasa terbuang, aku yang memegang bahumu."

###

Bermimpilah meskipun untuk itu kamu sering kecewa. Tidak apa, lebih baik kecewa sekarang daripada merasa baik-baik saja ujungnya hanya duri tajam nan mematikan.

Kamu sedang berbicara pada siapa? Pada diriku yang ingin menulis. Bagiku menulis adalah proses kreatif, menuangkan apa yang aku rasa dan pikir. Karenanya, aku merasa baik-baik saja.

Seperti malam ini, aku tengah menulis dengan nyamuk sibuk membuat risau. Meski pun kecil nyamuk tetap punya kejengkelan, ada baygon tetap tak bergeming. Pakai lotion anti nyamuk, ya tetap usil.

###

Tiba-tiba aku rindu kitab Ihya Ulumuddin yang sampai saat ini belum aku rampungan. Tepatnya di juz 2 dengan tebal 1000-an lembar itu. Kitab rujukan yang kerap dinukil kalangan santri juga kiai di dunia.

Sayangnya aku tengah sibuk membaca Fiqih Sunah-nya Syaikh Sabiq al-misri, mengkaji fiqih dari sudut pandang lintas madzhab. Itu pun baru 150-an halaman. Jadi ya itu, belum kelar keduanya.

Ah, rindu adu gagasan lagi. Debat tentang banyak hal dari tantangan dakwah sampai kajian kitab populer. Ruang di mana bebas saling kritik tanpa harus merasa terhina, tersinggung pun tersakiti.

Tujuannya dialetika. Di sana ada di sana ada pertanggungjawaban. Ada argumen yang dipertahankan. Hanya saja, cuaca gersang sekali. Sementara terus berkutat dengan hal standar.

###

Aku merasa belum secemerlang mereka dalam karir, untuk itu, tatapan tajam sering aku lihat. Ya kenapa? Padahal aku tidak pernah usil, namun begitulah, di mana-mana ada saja orang yang tidak suka.

Kita mau salahkan siapa? (***)

Pandeglang, 13 September 2023  22.05

Posting Komentar

0 Komentar