ilustrasi diambil sinetron Dunia Terbalik. |
Sebulan lalu, aku sekeluarga silaturahmi ke salah satu
tokoh agama di Serang, dekat Banten lama. Orangnya cukup muda dan amat ramaj.
Selera humornya cukup tinggi pula. Rumahnya amat sederhana. Tepatnya depannya
pondok salafi untuk laki-laki.
Ada hal menarik saat kami bincang-bincang soal “fenomena”
saling bentur ustaz kampung. Beliau bercerita, di kampungnya ada seorang imam
tiap sepualang salat pasti sandalnya hilang, ternyata ada yang menyembunyikan.
Dan itu, sering bangt bukan satu kali dua kali,
Konflik itu bahkan ke arah yang sudah tidak sehat. Ketika ditanya kenapa, karena “rebutan atau yang tersaingi” jadi imam salat. Menjadi
imam yang seharusnya bukan “ajang rebutan” tapi sebuah tanggung jawab moral,
sekarang berbeda lain.
Ada kepentingan di dalamnya. Untuk apa? Demi nama besar.
Ketika muncul orang baru seorang menggeser posisinya. Sebisa mungkin orang baru
itu dibungkam atau tak diberi akses. Seolah dengan begitu, tercapai apa yang
dinginkan.
“Makanya saya mah kang, jarang ikutan campur urusan
masyarakat. Ngurus santri wae lah, ken masjid mah aya nu lain iyeuh,” katanya
dengan tertawa khas-nya.
Menyaksikan ini sungguh bikin heran, ya tentu saja hal begitu
tak hanya terjadi di Serang sana, tapi di pelbagai wilayah. Tak terkecuali di kampung
saya sendiri. Cerita ini pernah disampaikan sepuh kami langsung ke saya,
katanya pernah di hari jum’at orang yang kebagian tugas khutbah berhalangan
hadir. Akhirnya, beliau menggantiikan khutbah dan imam jum’at.
Terjadi hal teknis, saat di duduk di mimbar untuk buku
saku kumpulan khutbah itu tak ada. Baik di bajunya maupun di sekitar tempat biasa.
Ia tambah panik ratusan sorot makna jam’ah macam tengah menelanjanginya.
Untungnya, ia ingat rukun khutbah saja.
“Ada empat: Salawat, membaca ayat suci walau satu ayat, wasiat
bil hikmah dan doa.”
Begitu katanya, alhamdulillah lancar meski meninggalkan cemas
yang luar biasa. Apalagi, entah ini sebuah kebetulan apa bukan, banyak kiai kampung
lain yang hadir. Anehnya, setelah jum’at salah satu ustaz lain menyampaikan
buku khutbah itu terselip tak jauh di mana beliau duduk. Entah, ada konspirasi
apa ya, katanya sambil tertawa ke saya.
Sebenarnya untuk apa dan demi sih rebutan begitu?
Agama kok terkesan jadi “ ajang pansos” bukan lagi
kesempatan menebarkan kebaikan dan keilmuan sebagaimana sesuai kemampuannya.
Ilmu agama akhirnya hanya jadi alat bukan pintu keberkahan. Akhirnya apa?
Kehilangan pemaaknaan arti ikhlas dan ridha itu sendiri.
Lalu agama sekedar jadi topeng demi kepentingan pribadi,
meski lisanya bilang demi kepentingan ummat. Katanya demi kemasalahatan ummat
tapi memperkaya diri. Penghormatan di ukur hanya dimateri bukan ketulusan
nyata. Jadi, demi atau untuk agama? (**)
Pandeglang, 13 Oktober 2025 00.13
0 Komentar
Menyapa Penulis