Seminggu Sudah Bapak Pergi


Tak terasa sudah tujuh hari bapak berpulang menjemput rahmat-Nya. Rasanya baru kemarin bersama: tersenyum, tertawa dan sesekali marah pada kami anaknya. Baru kemarin, azal menjemput di saat kami belum terjaga. Detik-detik terakhir bapak masih lekat di ingatan.

Sekitar pukul 00.30 WIB. Aku dan adikku, Hasim, masih terjaga. Bapak bangun lantas masuk ke kamar mandi. Jam segitu biasanya bapak bangun ingin Salat tahajud. Tak lama, dengan tergopoh-gopoh bapak menghampiri adik saya seraya berkata,

"Sim, bapak ke tembak (serangan tiba-tiba ke kakinya), do'akan bapak! Do'akan bapak! Do'akan bapak! Bangunkan Emak!" Serunya dengan agak panik.

Aku yang masih terjaga di kamar tak kalah panik, segera menghampiri bapak. Banjir keringat dingin membasahi tubuhnya. Aku segera melakukan apa yang aku bisa dengan adikku. Bapak muntah-muntah. Aku segera mengambil baskom untuk menampung muntahan. 

"Maafkan apa pak?! Maafkan apa pak," kataku menimpali bapak.

Aku memberi minyak kayu putih, mengusap ke punggung bapak. Keringat yang tak kunjung kering, baju bapak basah kuyup. Aku buka, ganti dan usap dengan minyak kayu putih.

"Penyakitnya di kaki. Pijat Mahyu! Pijat dengan baca Laa ilaaha illallah." Begitu bapak setengah teriak. Kaki sebelah kiri bapak tak berfungsi, aku pikir karena struk ringan.

Tak lama Emak datang karena dibangunkan. Dibangunkan adikku. Tadinya aku tak ingin membangunkan Emak, karena Emak juga sedang tak sehat. Apa mau di kata, bapak terus memanggil Emak.

Setelah datang, respon Emak panik. Emak menawarkan memanggil tukang kerok, bapak menolak. Ditawarkan memanggil tukang pijat ditolak pula. Di saat genting begitu; aku, Emak dan adikku mengerok bapak. 

Tubuh bapak kan lumayan besar, butuh dua jam kami bergumul mengerok bapak. Naas, tak ada respon positif yang bapak rasakan. Kalau ditanya, apa suatu terasa. Bapak selalu bilang, pijat kaki kirinya. Di situ penyakitnya. Kalimat tahlil terus terucap di bibir bapak.

Emak yang panik sekaligus cemas menawarkan memanggil Kak Patot. Beliau yang biasa dimintai bantuan kalau ada yang sakit. Kami berpikir, kalau gak ada jalan keluarnya tak apa di dirawat. Urusan biaya bagaimana nanti, terpenting bapak terselamatkan.

Tepat di jam setengah tiga malam, setelah habis dikerok, bapak minta di "injak-injak" badannya. Di menit entah ke berapa, tepat di injak di pantat, bapak setengah teriak, "Iya, di situ penyakitnya. Di situ, ya," katanya agak histeris.

Setelah itu bapak batuk, hening. Tak ada suara. Kataku ke adik,

"Alhamdulillah penyakitnya keluar. Sehat, insya Allah."

Meskipun dalam hati aku agak kaget, sebab melihat wajah bapak terlihat lain. Dan selanjutnya, kabar yang aku dengar dari sesepuh dan lainnya adalah bapak wafat. Ya, wafat di saat kami terjaga, tak sadar dan tanpa isyarat nyata. Saat itu, aku antara sadar dan tidak. Antara menerima dan tak ikhlas.

"Mahyu pasti hafal lah, namanya umur siapa yang tahu. Tatkala ajal menjemput maka tak bisa dipercepat sekejap pun dan tak bisa diperlambat sekejap pun. Itu kata ayat suci." Jelas Mang Iip menentramkan jiwa ku. Ayat itu seolah menyatu di jiwaku.

Sebagai penjelasan saja karena suara di luar yang agak tak enak tersebar, bahwa bahwa tak punya riwayat penyakit. Maksud penyakit di sini kronis ya.

 Memang bapak seminggu ini masuk angin, tapi bapak selalu menolak dikerok apa lagi berobat. Bapak memang biasanya begitu. Soalnya, sampai kemarin bapak wafat tak punya pantangan makan apa-apa.

Hanya sampai saat ini aku baru bercerita. Otakku belum konek untuk bercerita dan menulis. Jiwaku tidak sedang baik. Semoga bapak diberikan keluasan kubur juga cahaya di sana. Amien. (***)

Pandeglang, 16 Januari 2024.  15.34

Posting Komentar

0 Komentar