3 Sikap Soe Hok Gie Untuk Kamu Teladani

Orang itu mengenal tokoh siapa yang hanya tengah ditekuninya, begitu penggalan yang sering terdengar. Entah kata siapa. Entah dari mana. Begitu saja tersiar.

Seorang santri pasti mengenal sosok ulama besar, calon dokter akan mengenal tokoh besar dalam bidangnya, calon politikus akan juga cari dan mencari sosok besar dalam apa yang diharapnya.

Begitupula seorang aktivis pergerakan, rasanya tak komplit kalau tak mengenal atau belum tahu sosok angkatan-66 populer melalui pergerakannya, lantas ditulis di buku hariannya. 

Kemudian, di bukukan. Ledis di pasaran di awal terbit paruh tahun 80-an. Saat itu, namanya makin meroket di benak kaum pemikir dan aktivis. Meski, ragam tanggapan ikut mewarnai hadirnya.

Itulah Soe Hok Gie sosok yang akan kita kupas bersama. Dalam  kesempatan ini, saya tidak akan terlalu jauh mengorek sosok Hok Gie, karena sudah banyak yang membahasnya. Tulisan ini hanya sedikit mengulik pesan yang penulis tangkap dari apa yang terlihat.

Agar tidak banyak cingcong, mari kita telaah agar mampu mengulik sisi lain darinya. Ada beberapa hal perlu kamu tahu terkaitnya. 

Apa itu?

Pertama, Semangat Muda Tak Boleh Padam

Ada banyak spirit muda yang banyak disia-siakan. Entah untuk huru-hura atau menyalurkan pada suatu kasus yang menyeruak diri agar merasakannya. Atas apa itu masa muda. 

Menghirup aroma kebebasan. Tak peduli negarif atau dapat menjerumuskan pada apa yang buruk untuk masa depannya. Katakanlah narkoba, free seks, atau gaul ala barbar.

Dalam nilai hidup tak ada. Tak memiliki nilai positif juga pada dirinya. Nah, sosok Soe Gie memberi kita pelajaran bahwa masa muda itu sejatinya aset. Anugerah yang bisa kita dayagunakan untuk hal besar.

Soe Gie mampu mengolah masa muda itu pada hal yang 'besar' melawan tirani dan terus menyuarakan suara rakyat yang ter-marginal-kan. Amat beresiko lagi menghunus emosi.

Resiko pasti menempanya. Ia tak peduli. Semangat muda kian berkobar menuntun nuraninya pada apa yang zaman butuhkan. Demi bangsa dan rakyat yang dia cintai.

Rasanya ini di antara faktor muda tenggelam dalam wahana absurd, di sisi lain semangatnya butuh pelampiasaan. Untuk itu, dekat pada orang 'benar' agar tahu 'jalan' mesti dilakukan.

Kedua, Membangun Prinsip Kokoh

Perubahan tak cukup bersuara. Perlu langkah pasti. Harus ada bukti nyata. Dan itu, ada resikonya. 

Memilih jalan kebenaran pasti memenjara hak yang pada ladang menjemukkan. Saking lelahnya kadang buat frustasi. Semisal dikriminasi, kriminalisasi jadi tontonan karena dilakukan oleh mereka yang terusik.

Harus kamu tahu, itu tak akan berdampak besar asal kamu punya prinsip kuat yang kokoh. Terus di bangun dan dijaga agar bisa bertahan dari gempuran 'orang usil'.

Itu yang menuntun Soe Gie pada kepercyaan diri. Kalau versi orang besar itu, 'mereka yang besar telah selesai dengan dirinya, maka fokusnya tak lagi untuknya lagi.'

Untuk itu, baginya caci maki kepadanya itu biasa. Perlakuan tak enak pun tak jadi bahan keluh.

Tidak goyah akan ujian dan teror. Ia memahami semua atas resiko langkahnya. Prinsip menjulang menuntun pada apa yang manis di masa hasil. Namanya menanam, ya tidak semudah memanen.

Ketiga, Menikmati Proses dan Mengecup Lelah Bagian Nutrisi

Perlu kamu tahu, tak ada langkah yang selalu mengenakan rasa, terlebih jalan juang kamu pilih demi nasib bangsa yang lebih ideal.
Langkah besar itu akan bertambah rumit sepanjang menyinggung elit-elit besar. Dengan daya ledak mengerikan.

Sementara orang, hanya melihat keberhasilan usaha tanpa mau melihat sisi di mana orang itu tertatih berdiri dari prinsip yang dia perjuangkan. Bagaimana ia harus bangun dari ketepurukan, tidak leha-leha dan nyaris putus asa. Tentu tidak mudah.

Itu yang gagal 'aktivis pemula' cerna, ingin meniru sejenis Sok Gie, namun setengah-setengah. Padahal, Soe Gie selalu punya jurus menarik terhadap ujian atas kerikil dalam langkahnya.

Bagaimana dia terus melangkah dan pantang menyerah. Proses apapun dinikmati, segala rasa pahit ditengarai untuk mengalirkan energi positif.

Ingin memastikan kemenangan untuk dirirnya, tak peduli untuk mencapai itu tak mudah. Tak peduli cemooh yang disematan padanya.

Terlebih melawan kekuasaan terlalu banyak batu sandungan, gagal mengecup energi negatif bisa overdosis sebelum waktunya. Jurus-jurus ampuh perlu disiapkan. 

Inilah kenapa, kita perlu terus melatih diri bagaimana seharusnya menindak diri agar ada terus di jalan yang cerah. Kita akan sadar arti cerah setelah pernah singgah di tempat yang gelap. Gelap itu memberi kita arti tapa artinya sebuah cahaya. 

Itu tiga sikap perlu kita tanamkan pada diri. Pasalnya, kita yang hari ini menikmati kemerdekaan, banyak belum memahami arti sesungguhnya kemerdekaan yang diperjuangkan para pendahulu kita. 

Begitu heroik. Segala yang dimiliki dikorbankan demi cita dan asa. Mirisnya, ada sementara kita yang baru saja berani berkoar; apa itu keadilan, apa itu kesengsaraan rakyat, atau baru saja bisa memahami kelas sosial belaga paling besar sendiri. Jumawa akan sikap. 

Kenapa?

Karena kita tak bertempur dan memahami beratnya perjuangan sesungguhnya dengan para penjajah yang merampas harga diri kita sebagai bangsa. Baru klaim  sudah sok!

Oleh karena itu, kita patut belajar dari para pendahulu. Sekalipun Soe Hok Gie telah pupus lama sekali, tapi namanya selalu hidup di jiwa muda penuh cita-cita.

Ia bisa jadi kado untuk kita rakyat Indonesia untuk mensyukuri arti sebuah kemajemukan, dedikasi, dan tulus demi bangsa agar berjalan di rel yang tepat.

Apa yang ada harus jadi semangat menumbuhan api semangat untuk kejayaan bangsa. Kita perlu berikhtiar terus menghadirkan kemerdekaan seutuhnya agar jauh dari tirani, KKN, dan segala gerakan sporadis yang akan meruntuhkan kedigdayaan sebuah negara kita cekal bersama.

Saya kira, itulah cermin yang dapat kita pelajari dari sosok pergerakan yang namanya tetap harum di benak para aktivis segala usia dan masa. Sebab, gerakan juga langkah gigihnya patut dijadikan motivasi untuk anak bangsa. []

Pasar Pandeglang |  15 januari 2022  

Posting Komentar

0 Komentar