Mencuci Piring dan Gelas

Dokumentasi Pribadi

Mencuci piring dan gelas bukan hal membanggakan. Tidak perlu tutorialnya,  siapapun merasa bisa melakukannya. Tidak perlu latihan. Justeru aneh bagi siapa yang punya piagam khsusus sebagai pakar dalam mencuci piring dan gelas. Sejauh yang saya tahu belum ada, kalau pun ada aneh juga.

Kalau ada sertifikat pakar mencuci piring dan gelas, saya pikir kaum wanita yang menang dan sudah sepantasnya menang. Ternyata walau dianggap mudah mencuci piring plus gelas tidak semudah membicarakannya. Kalau tidak hati-hati bisa pecah, bentrokan, bahkan melukai tangan mulus itu. Semulusnya tangan berarti jarang mencuci. Misalnya kalau kamu mencuci "demong" itu butuh seni dan kesabaran ekstra.

Eh, demong itu bahasa Sunda Pandeglang kalau bahasa Indonesia-nya mungkin jelaga hitam nan karat yang menempel di pantat atau pinggir wajan serta panci. Selain butuh abu juga kamu pun harus punya pikiran positif. Soalnya yang akan kamu cuci itu sisa pembakaran yang sudah menyatu biasanya menyisakan hitam-hitam yang pekat gitu.

Kenapa aku katakan perlu pikiran positif, karena dua hal: pertama, yang kamu hadapi itu pantat dan kedua adalah warna gelap. Coba saja kamu lagi menggosok wajam sudah gelap gulita sulit pula terus sambil monyong lima senti, sudahlah ambyar harimu. Saranku, sih, rajin tersenyum meski hanya pantat panci jaddi menu harianmu. Semoga ada pahalanya.  

 

Itulah yang sering saya lakukan baru-baru ini di rumah, di rumah saya kadang bantu ibu cuci piring dan gelas. Air saya gunakan dan tangan digerakan. Tidak butuh jurus apa-apa. Jongkok pasti. Tidak perlu narik nafas.  Nafas keluar sendiri. Ribet sih enggak, cuma ada kesal. Saya laki-laki, apa laki-laki biasa mencuci piring dan gelas? Silakan tanya lelaki terdekatmu.

Seringkali ada kesal juga, kalau baru beres mencuci pengen istirahat gitu, eh ada yang menyodorkan cucian baru. Padahal sudah niat ingin duduk manis di kursi  kekuasaan, eh sudah ada yang menggugat. Terpaksa turun kuasa lagi, mencuci piring lagi. Itulah sifat kekuasaaa, sementara.

Apa secara tidak langsung kerjaan mencuci piring dan gelas itu hina?

Itu sih soal  persepektif. Buktinya itu mereka yang dicekal KPK bukan pencuci piring, bukan pula hobi mencuci gelas. Masih tersenyum manis pula, bangga di foto media. Sialakan tanya ke seantero negeri yang punya hati nurani, pasti akan mencaci mereka yang pake rompi khusus itu.

Kalau  pun tidak hina, apakah bisa dikatakan terhormat?

Ini tergantung persepektif, kalau memang mencuci piring dan gelas sebagai sebuah profesi maka rata-rata terpaksa dan jarang yang memang sukarela. Celakanya jarang yang bangga dengan profesi ini. Sejauh ini belum ada komunitas juga upaya serius dari  berbgai pihak. Bisa dikatakan mereka termarjinalkan.

Fakta ini tidak berbanding lurus dengan jumlah "pencuci ini"  yang tersebar di kota besar dan kawasan padat penduduk, apalagi warganya yang punya penghasilan di atas rata-rata maka kebutuhan terhadap laku pencuci ini perlu dilakukan. Seringkali"eksodus" dari kampung ke kota terlihat signifikan.

Oleh karena itu, jelas Islam menghormati pekerjaan apapun. Mau disebut profesi atau tidak, selama ini memberi manfaat dan sama-sama ridha dari kedua pihak, jelas diapresiasi.

Barangkali pembaca pernah mendengar hadist tentang "bayarlah gaji karyawan sebelum keringatnya kering" atau " tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah" atau "hamba yang memungut kayu di hutan setelah itu di jual di Pasar demi terckupi kebutuhan itu lebih baik daripada mengemis". Itu yang saya tahu, kalau ada salah maka bantu koreksi.
 
Sampai di sini, berbanggalah kalau kamu tidak pernah mencuci piring dan gelas tetapi ada yang sukarela mencuci tanpa mengeluh. Bersyukurlah, karena tanpa kamu sadari mencuci pantat wajan lebih menjengkelkan daripada mendengar kamu digosipkan selingkuh tetapi bukan sama manusia. Semangat para pahlawan yang tak diakui! (**)

Pandeglang, 16 Mei 2023     14.14

Posting Komentar

0 Komentar