Ilsutasi kawan-kawan yang rutin diksui soal buku. (sumber: grup WA) |
Tadi pagi.
Aku melihat seorang ustaz, mungkin mau hadir ke pengajian rutin ke Cisantri. Di sana ada pengajian kitab yang diasuh oleh keluarga besar allahu yarham Abuya Bustomi. Terlihat dari tas yang beliau bawa, dan tengah menunggu angkutan umum yang singgah.
Melihat itu aku tersentuh.
Kebiasaan santri itu, sesibuk apa pun, bahkan sesepuh apa pun usianya, mengaji adalah dipandang wajib. Tidak memandang cukup terhadap ilmu, lagi dan terus mencari demi menambah pengetahuan demi kemantapan jiwa.
Nasihat Abuya Sepuh Cidahu jelas, kalau ditanya apa tarekat-nya, jawabnya: ngaji! Di lain kesempatan pun beliau mewanti-wanti santri-nya untuk jangan meninggalkan kegiatan ta'lim. Didik dirimu dan didik muridmu semampu yang kamu bisa.
Melihat itu aku tersentuh.
Komunitas dan aktif di komunitas yang kita suka memang ada kalanya penting untuk menciptakan kemantapan diri. Ketika santri sekali pun sudah ustaz terus mengkaji kitab turats, barangkali niatnya mencari ilmu juga bisa bertemu serta bertukar pikiran dengan orang yang sepemikiran.
Adu argumen dan diskusi dengan sembarang orang selain bahaya kadang memicu kesalahpahaman. Bukan karena kita tidak mau, tapi belum sinkron membaca peta pemikiran masing-masing. Contoh, saat kita diskusi soal qunut, bagi yang memahami fiqih mungkin maklum.
Tapi bagaimana bagi yang belum paham, maka termudah akan men-justifikasi, Muhammadiyah lah, ya Wahabi lah, ya NU lah dan sebagainya. Padahal sebelum ada ormas tersebut, diskursus soal qunut sudah lama hadir di sejarah pemikiran islam.
Aku jadi ingat, kapan terakhir diksusi dengan kawan-kawan literasi di alun-alun? Cukup lama juga gak hadir. Rindu juga berbagi dan memperdebatkan gagasan tanpa takut untuk dihakimi. Bebas tanpa merasa dikungkung oleh aturan tabu tradisi. Kapan-kapan lah, harus aku jadwalkan. Wallahu'alam. (**)
Pandeglang, 6 Oktober 2025 14.38
0 Komentar
Menyapa Penulis