Kesan Minggu Kemarin di SDN Setra Jaya



Di hari Sabtu, 4 Mei 2024 kemarin, saya berkunjung ke SDN Setra Jaya. Sekolah di mana dulu saya pernah mengecup ilmunya. Sekolah yang ikut mewarnai kehidupan saya, bertemu teman-teman dan terlibat cinta monyet sama teman sekaligus tetangga sendiri. Haduh!

Seru sih, di sana bertemu adik-adik kecil yang manis. Sok manis. Ada pula yang centil imut. Di sana pula bertemu guru yang dulu mengajari saya, beliau Pak Roden. Alhamdulilah, sehat-sehat Pak. Pak Wawan yang masih aktif mengajar. Pak Yoga, Bu Emen dan guru-guru lain yang belum saya kenal. Sayangnya di sana saya bukan sedang mengisi kelas nulis, tapi mewakili Emak yang tak bisa hadir karena masih Iddah.  Untuk apa? Untuk mengambil tabungan adik bungsu saya, si pintar Ayat al-Husna. Walau agak risi sih, hampir yang hadir kaum emak-emak semuanya. Hadeh! 

Di sekolah dasar itu, pikiran saya bercabang ke mana-mana. Tentang nasib anak didik dan pendidikan kita. Makin ke sini kualitas pendidikan kita makin diperhatikan pemerintah. Terlihat dari bangunan kokoh nan kuat.  Alokasi anggaran negara, setahu saya, dikucurkan pada bidang pendidikan dan militer. Artinya apa, tentu saja bukti pemerintah serius untuk mencerdaskan anak bangsa.

Meskipun dalam prakteknya masih menyisakan masalah, kita masih melihat, misalnya gaji para guru bantu juga pengadaan sarana prasarana kreatifitas siswa yang minim. Di masa saya dulu, setiap praktek IPA, Pak guru kami, Pak Deden harus meminjam ke sekolah lain. Entah sekarang gimana, apakah sarana begini sudah tersedia atau belum. 


Saya lihat buku-buku bacaan di salah satu kelas di Pojok Baca masih berkutat di buku pelajaran yang pasti bikin mumet, terutama yang jarang baca. Bahan bacaan yang seharusnya berisi komik menarik, kumpulan cerpen, epos, novel dan sejenisnya seperti barang langka.

Apa ini hanya di SDN Setra? Dari hasil temuan saya sih, hampir di tiap sekolah lain sama. Bahkan teman-teman relawan komunitas menulis di Rumah Dunia mengeluhkan kondisi ini, antara harapan minat baca dan sarannya kurang sinkron.

Hasilnya apa? Barangkali temuan agak miris dari PBB, yaitu UNESCO. Bahwa minta baca bangsa Indonesia persentasenya 0,001% dari seluruh penduduknya. Artinya, perbandingan dari 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang melek baca. Temuan ini menjadi perhatian banyak kalangan, di antaranya Mas Gol A Gong. Sastrawan asal Banten yang melanglang di dunia kepenulisan, baik dalam maupun luar negeri.


Mas Gong gak percaya dengan temuan itu. Beliau menjawab, sejauh ini turun ke lapangan bahwa minat baca orang Indonesia itu tinggi. Hanya saja, pengadaan buku yang menarik itu minus. Buktinya, salah satu sekolah di timur Indonesia yang pernah disinggahi beliau tiap tahun anak didiknya menerbitkan satu buku per angkatan. Artinya jelas, di pelosok saja tinggi minatnya, apa lagi wilayah dekat pusat kota pemerintah.

Tapi saya kurang setuju dengan pendapat Mas Gong. Ga menyanggah  sama beliau sih tapi sama relawan di Komunitas Kepenulisan yang beliau dirikan bersama kawan-kawan, tempat di mana kami dan anak Banten pecinta pena belajar. Saya katakan, Mas Gong boleh tak setuju tapi kita pun harus objektif, bisa saja temuan itu benar adanya. 

Buktinya apa? Merebaknya hoax di mana-mana. Hoax indikasi masyarakat kita kurang teliti membaca dan menelaah apa yang dibaca. Mungkin malas membaca lantas langsung percaya begitu saja. Untuk itu, gerakan literasi digital perlu terus digalakkan. Ia pun diam, entah setuju atau enggak.

Poinnya sih, tugas mendidik anak agar melek baca itu lumayan sulit. Ada banyak komponen harus dibangun. Di mulai orangnya harus melek baca, dewan guru wajib baca pula, karena yang menjadi teladan nantinya. Tak kalah penting, bangunan jua koleksinya yang menarik. Dibentuk petugas khusus yang memahami dan suka baca.

Oleh karenanya, program merdeka belajar yang digagas oleh menteri pendidikan Nadiem Makarim arah tujuannya agar anak-anak bangsa punya karakter. Lebih diarahkan pada pendidikan mental dan praktek daripada sekedar teori saja.

Guru diharapkan lebih kreatif juga inovatif mengemas materi ajar agar terpacu memahaminya. Bagaimana pun namanya belajar tidak kenal usia, muridnya belajar karakter dari wawasan gurunya sedangkan guru belajar menggali potensi muridnya agar terpacu semangat dan berkarya.

Sebagai penutup saya kutip kata-kata dari Presiden Amerika yang berteman baik dengan Bung Karno, yaitu : "Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan pada negara."
Dalam konteks ini, jangan memikirkan seberapa banyak apa yang sekolah berikan kepadamu tapi apa yang diberikan kamu berikan ke sekolah.  Intinya satu, amal soleh. Wallahu 'alam. (***)

Pandeglang, 16 Mei 2024   23.22

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Tingkatkan kreativitas dalam karya tulisnya mantaap

    BalasHapus
    Balasan
    1. maksih atas apresiasinya. makasih sudah singgah. 🤭👍

      Hapus

Menyapa Penulis