Tiap Perubahan Pasti Butuh Proses

Ilustrasi saat sertijab kepengurusan kepanitiaan maulid tahun kemarin. (dokpri)

Adik ipar saya kemarin pulang beserta isterinya, yang tak lain adik saya sendiri. Pulangnya karena memang kebetulan saudara dari adik iparnya sakit, ia nebeng ikut. Karena gratis!

Tulisan ini tentu tidak sedang menyelidiki arah gratis dan momen istimewa itu terjadi, tapi lebih kepada adik ipar itu disuguhi oleh saya laporan keuangan juga berkas acara maulid tahun ini. Moga saja bisa diterapkan di kampungnya.

"Ah, kak," katanya. "Diminta uang tiga puluh ribu untuk maulid, warga ngoceh gak enak di hati. Gak kayak di sini, enak kakah mah," begitu katanya.

Saya menjelaskan, semua ada prosesnya. Ada usaha yang dilakukan. Di sini dibilang sudah baik, tentu sudah menjalani proses yang tidak mudah. Sedangkan di kampungnya di seberang sana belum baik, maka perlu usaha sampai kembali baik.

"Ah, pernah saya usul bagaimana kalau di masjid di pasang speaker dalam. Jadi kalau imam salat baca qur'an bisa terdengar oleh jama'ah, masa sesepuh bilang begini 'sudah ah, ngapain begitu' langsung saya pergi, ngapain coba. Kalau masih ada yang tua, biarlah kalau masih mampu. Kita yang muda biar jaga jarak," Begitu katanya menahan kesal yang lumayan dalam.

Mendengar itu, saya de javu dengan kondisi kampung kami pun begitu dulu. Saat semua dipegang kaum sepuh lantas yang muda sulit bergerak. Seiring berjalannya waktu, ada tokoh muda yang berani pula membongkar budaya angker ini.

Belajar dari sini, perlu usaha dan kesabaran membongkar kesadaran masyarakat itu. Kita bisa kecewa tapi kekecewaan itu bukan sebagai awal kita putus harapan. Saya mengalami itu sendiri, misalnya, saat marhaba hanya mengandalkan "tokoh sentral' saja.

Kalau tak ada tokoh sentral itu. Saya dengan beberapa remaja lain yang kebetulan mengaji bareng saya, ingin "membongkar" anggapan tersebut. Kami mengadakan marhaba bareng tiap hari selasa. Tak lama diadakan pula di musola landeuh.

Yang hadir siapa?

Rata-rata remaja tanggung. Yang sepuh hanya bapak Jupri, guru ngaji saya. Apa lanjut? Dilanjutkan meski pun perlu latihan lagi dan lagi karena lupa nada dan ritme yang kacau. Sampai akhirnya remaja dan pemuda bisa.

Coba aja sekarang kalau marhabaan, tidak akan mendengar istilah "tokoh vokal" lagi. Marhaba ya marhaba saja karena banyak yang merasa sudah bisa. Kita bisa simpulkan, mengubah keadaan tidak sesulit yang kita pikir selama mau mengikuti fasenya.

Oleh karenanya, saya orang yang tidak selalu percaya tabiat atau karakter tidak bisa diubah. Mungkin tidak bisa diubah karena yang bersangkutan tidak mau mengikuti proses juga menikmati rintangannya. Tepatnya sih begitu.

Toh, sekeras dan sekejamnya Umar r.a saja bisa berubah kok setelah hidayah terbuka dan iman tertancap di jiwanya. Kita tahu bagaimana hebat dan radikal-nya sahabat utama nabi dulu. Namun karena usaha dan izin-nya, siapa yang bisa menolak perubahan? (***) 

Pandeglang, 26 September 2025  23.43

Posting Komentar

0 Komentar