Benar di Matamu

pixabay.com

Di matamu memang selalu salah, apa saja yang kulakukan ada saja untuk dikoreksi. Katanya ini, katanya itu. Katanya kurang, tapi mengijinkan. Katanya membolehkan dengan segudang sesal yang tak kupahami.

Rasanya kok semua hitam putih. Semuanya salah di matamu, benar versi rasamu. Tak kau tanyakan rasaku, sesalku dan apa yang aku inginkan untuk masa depan ku nanti. Terisa semua seolah curiga, sesal dan kesal saja.

Sering aku berpikir, apa salahku lagi. Apa hanya salah, salah dan salah saja kulakukan; tak pernah benar di sana. Apa aku seperti keledai di matamu, masih saja terjatuh di lubang yang sama?

Aku tak habis pikir, apa dunia sekecil itu di matamu. Ada hitam dan putih saja. Kalau aku salah, maka kamu benar. Kalau aku benar, kamu salah. Hanya tersisa dua pandangan itu, dan kini aku salah!

Yeah, begitulah.

Hariku kadang menjengkelkan. Ada yang ingin aku curahkan, aku ungkapkan dan dengarkan, tetapi dengan sikapmu begitu-- lagi nampaknya blog lebih membuat aku nyaman untuk mengungkapkan. Duniaku adalah kata-kata, karena di sana membesarkan jiwamu.

Kamu tak tahu, betapa kemarin aku sangat terluka dengan perlakuan tak enak dari dia yang aku ceritakan. Katanya haji, kata orang rajin ngaji tapi sikapnya seperti anak SD yang tak paham etika.

Aku jengkel justeru bukan karena orangnya tapi karena sikapnya, yang bagiku tak selaras saja. Bukan, bukan hanya sekarang tapi itu dipelihara dari sejak aku kecil. Kadang aku heran, kenapa dia sepahit itu memberiku empedu, tanpa memikirkan efek psikologis untuk orang yang bersangkutan. Apalagi kalau bicara dosa, mungkin itu tak masuk di pembedarahaan otaknya.

Tapi ya sudahlah, hidup tak selalu untuk kita sesali dan tangisi. Kalau kita mencari keadilan di dunia, begitu kata orang pinggiran, itu sia-sia. Keadilan itu milik mereka yang punya kuasa dan harta, kita yang bukan apa-apa cukup saja diam dengan pembendaharaan kata yang tersimpan apik di dada.

Terus, siapa yang salah?

Bukan soal siapa yang salah dan dipersalahkan, tapi bagaimana kita mau memikirkan apa yang kita anggap benar tak melulu benar menurut orang lain. Begipula apa yang kita sangka salah, salah pula menurut orang lain.

Demikiankah, kita hanya tengah membangun pikiran di dunia kita. Pikiran itu yang kadang membuat hidup kita terasa hitam, kadang terasa puttih. Padahal di luar sana, langit masih cerah. Mentari masih sehangat dulu. (***)

Posting Komentar

0 Komentar