Ini Proses Berdamai dengan Rasa Pilu Oleh Masa Lalu

potret di ujung kampung saya. (Dokpri)

Pernah suatu waktu kamu merasa gusar. Merasa cemas. Merasa bingung. Merasa semua gelap. Langkah pun terasa berat. Di pundak pun serasa ada beban entah berapa kilo melekat, itu sungguh mengganggu harimu. Terus terjerat pada kenangan masa lalu?! 

Hem, 

lantas kamu belari tanpa arah. Kamu berteriak sekencang yang kamu mampu. Apa pun kamu lakukan, berharap ada ringan di jiwa. Ada plong di dasar hati. Kamu sering berujar, "Ini berat."

Apa semuanya selesai? Apa semua beban hati makin menjadi saja terasa menusuk jiwa. Nyatanya semua masih sama menjadikan manusia yang terluka, merasa terbuang dan merasa lelah dengan kenyataan 

Dan biasanya, kamu mencari kambing hitam: ini bukan salahku, andai tak ada dia mungkin aku akan tetap baik-baik saja. Hidupku sudah bahagia maka kenapa ia hadir. Kenapa masalah menerpa di saat aku menikmati mahkota kehidupan. Mungkin ini salah orangtuaku, mungkin salah temanku, mungkin salah guruku atau penentu di sekolahku dulu yang abai. Ahhhhh, menjengkelkan!

Baik, kita permudah ya. Kenapa terasa sulit. Mari kita fokus ke diri kamu, bukan yang lain. Sebab banyak masalah menjadi besar karena masalah dibentuk besar, karena kita tak mampu mengelolanya hingga jadi seolah besar.

Dalam kasus kamu pun bisa saja, kamu tidak punya komitmen terhadap dirimu, padahal Allah memberi kemerdekaan padamu, untuk bahagia atau memilih tetap terluka.

Al-Qur'an menyebutnya ilham, sebuah pemahaman yang didapat bukan berbasis dalil tapi pencarian lewat renungan, begitu kata Imam Ghazali.

Kenapa terasa berat, karena kamu tidak punya formula (rumus) untuk jadi dasar sikapmu. Kamu tidak punya niat yang kamu bangun. Tidak punya pegangan. Ruang argumentasi kamu lemah di bawah sadar sana.

Seumpama salat subuh itu berat, sulit dan ngantuk pastinya. Maka wajar, salat yang biasanya sepi pengunjung yaitu subuh. Wajar pahalanya berlipatganda.

Bahkan kata nabi, dua rakaat sebelum subuh lebih baik daripada dunia dan isinya. Coba pikirkan. Dunia dan isinya loh, betapa milioner-nya kita yang mendawamkan subuh berikut sunah-nya.

Tapi tunggu, subuh itu sulit untuk siapa dulu. Ternyata nabi mengabarkan bagi orang munafik. Orang yang memilih lemah, ingin surga tapi setengah hati melangkah; maka kalau kita pun ingin lepas dari masalah lantas tak 
mau serius melangkah, apa layak dicap munafik? Silahkan kamu pikirkan.

Apalagi yang kamu keluhkan?

Tapi ini serius sulit. Sungguh menyesakkan rasa. Jiwaku terluka. Hatiku terbakar. Merana se-semerna pokoknya. Aku tak yakin lepas dari jerat ini.

Siapa yang bilang itu mudah? Pastinya menjalani proses itu SANGAT MENYAKITKAN. Meski pun demikian, saya menganalogikannya seperti kita yang dikandung ibu kita selama sembilan bulan sepuluh hari. Kita ada di rahim ibu selama itu, apa itu mudah dan ringan?

Tidak sama sekali. Kenapa ibu kita kuat? Karena ia punya niat yang kuat dan mau menajalani proses dengan kesadaran, maka di saat menentukan ketika buah cintanya mau melihat bumi dan seisinya, nyatanya ia pun harus bertaruh nyawanya lagi. La yamutu wa laa yahya. 

Ketika kita berojol dengan selamat, ia menangis haru. Dipeluk, dicium dan tatap buah yang tertanam di jiwanya itu. Lihat, ia tak menyesali itu karena ia yakin dengan proses dulu yang ia pilih. Alam bawah sadarnya sudah punya formula.

Sakit demi sakit terakumulasi pada senyum bahagia. Dan memang, hanya orang yang tahu rasa sakit bakal menikmati bahagia sesungguhnya.  Karena mau memahami proses yang ia alami untuk jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Oleh karenanya, betapa bahagia bisa kita ciptakan seperti apa pun rupa peristiwa kita alami. Poinnya bukan di rupanya, tapi mau seperti apa kita menyikapinyanya. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 29 November 2024    16.10

Posting Komentar

0 Komentar