Catatan Acara Maulid di Kampung Kami

Potret acara maulid di kampung Kami, Minggu 8/10/23. (Dokumentasi Pribadi)

Acara maulid Nabi di kampungku alhamdulillah berjalan lancar. Ada memang gesekan-gesekan, biarlah itu menjadi evaluasi. Dari catat yang ada, panitia berhasil mengumpulkan 2800-an berkat dari warga ditambah dengan 100 baskom cadangan.

Jamaah yang hadir sendiri kurang lebih 2500 dari kampung sebelah dan tamu undangan khusus oleh panitia. Artinya ada 100-an lebih besek tersisa. Dari kabar yang ada untuk acara maulid wanita. Begitulah ceritanya.

Hanya saja, di acara tersebut ada hal janggal terkait proses pembagian berkat. Ada miskomunikasi antara sesama antara panitia. Barangkali karena jarang musyawarah akhirnya memutuskan sendiri tanpa mau kesepahaman.

Bagiku sendiri memang penyakit akun di warga itu ya itu, kurang peduli dengan esensi acara dan kurang manejemen pembagian berkat. Akhirnya semua merasa "berkuasa", lantas mengabaikan kerja keras panitia yang sudah lama siang-malam memikirkan lancarnya acara.

Kenapa dengan esensi acara?

Ya begitu-begitu saja. Tidak hanya di sini sih, di kampung lain pun sama. Aku berpikir bagaimana seharusnya acara maulid ini bisa seperti di acara pensi sekolah. Kalau bisa lebih dari itu. Dana ada. Sumber daya ada.

Jadi acara tidak hanya tablig akbar tapi di isi acara lain untuk mengggali minat anak-anak dan remaja kampung. Entah itu cerdas cermat, lomba pidato, debat ala ILC dan karya seputar sejarah Islam, khususnya sirah nabawiyah. Tentu saja dengan mengikutsertakan stake holder lintas profesi.

Ada pun reward, ya ala kadar. Toh fokusnya bukan ke sana tapi bagaimana agar generasi bangsa punya kemampuan juga keilmuannya di masa serba kompetitif ini. 

Biaya dari mana? Bisa dengan memangkas undangan yang ada. Kalau biasanya 20 kampung misalnya menjadi 10 kampung. Sisa dana itu dialihkannya pada acara. Semoga dengan begitu kesadaran beragama, cinta ilmu dan rasa kebersamaan makin kentara.

Lantas seperti apa tugas pembagian berkat?

Rasanya tiap tahun perdebatan, orang nyolot dan adu argumen di depan jamaah gara-gara pembagian berkat adalah tontonan. Entah kenapa aku agak risih, apakah itu wujud akhlak cinta Nabi?  Tiap tahun dirayakan tapi penghayatannya masih minus?

Aku sering memberi saran kepada yang biasa membagi berkat. Cobalah di-manage dengan baik. Walau bagaimana ini hal sentral yang tak boleh dianggap enteng. Sebagai warga biasa kadang bingung, mau bantu dimarahi mulu, diam bikin malu, ya serba salah jadinya.

Ide yang sering aku katakan adalah, coba untuk  pembagian berkat ke tokoh masyarakat tidak boleh satu orang. Kenapa? Selain kelelahan juga banyak waktu terbuang percuma. Dengan SDM banyak kan bisa dikelola. Hanya saja harus ada komunikasi.

Sebagai contoh kemarin malam, terlihat terjadi miskomunikasi. Ada yang nyolot, ada yang bingung pun capek sendiri sampai berkat yang sudah dinamai dicabut tanpa ada pembicaraan. Yang membagi geram, yang di luar greget.

Andai pas waktu dzuhur menjelang acara diadakan musyawarah bersama pemuda dan tokoh terkait, misalnya yang membagi berkat tokoh di dalam masjid minimal 4-5 orang. Siapa mereka? Itu yang membagi undangan, kan mereka yang tahu mana saja tokoh yang diundang. Bisa juga RT atau sesepuh kampung. 4-5 lima orang itu harus sudah satu frekuensi. Berjalan sesuai alur, tidak saling menunggu juga debat lagi.

Setelah selesai, baru pembagian di luar. Itu perlu dua kordinator. Satu kordinator di "landeh masjid" yang memberi komando agar pembagian lancar dan tertib sambil mengawasi agar tidak ricuh. Satu kordinator di "girang masjid" juga sama tugasnya. Memberi arahan sambil mengawasi agar teratasi.

Tidak boleh ada teriakan juga makian. Tidak boleh ada luapan emosi tak perlu semua bekerja sesuai. Ketua Pelaksana fokus memantau jalannya acara, begitupula sekretaris dan bendahara siap sekiranya ada hal yang membutuhkan dana mendadak. Tetap saja komunikasi.

Lantas ke mana tokoh kampung sendiri?

Bagiku ini yang kurang diperhatikan. Seharusnya mereka yang sepuh stand di ruang khusus untuk menemani Penceramah juga Qori. Tempat ini harus steril, biarkan hanya para sepuh kampung di sana agar mereka merasa diikutsertakan sesuai kapasitasnya.

Ada pun seksi acara biarlah punya tim khusus nanti mereka yang bisa membaca situasi. Lagi-lagi seksi lain ini harus dikoordinasikan oleh Pelaksana acara agar tugsanya berjalan lancar. Beda bidang garapan tidak ada yang merasa spesial, semuua sama.  Entah seksi parkir, acara, konsumsi dan lainnya. Semua niat mahabbah ke Nabi dan ikhas lillah.

Aku pikir, mungkin bisa meluruskan kekusutan yang kerap terjadi. Aku tahu siapa saja yang bekerja dan menjadi panitia inti. Mereka rela bergadang siang malam, menyisihkan waktu dan pikiran agar acara berjalan lancar, ya sepantasnya tidak begitu saja dianggap angin lalu atau dirusak kesepakatannya oleh orang yang musyawarah tidak mau, eh di puncak acara paling sibuk sendiri... lucu gih! Hihi.

Kalau pun ada sisa besek, ini yang perlu di perhatikan, kembali dikomunikasikan ke Ketua Pelaksana dan panitia inti, bagusnya seperti apa. Kalau toh untuk maulid wanita misalnya, ya biasanya berapa yang hadir, kalau 100 ya ambil 120 sedangkan sisanya bagikan ke jamaah.

Fokusnya ke jamaah yang sengaja kita undang, bukankah kata Nabi siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka harus memuliakan tamu. Yukrim doifahu kata Nabi, lah masa mereka sudah juga diberi besek ala kadar eh kena damprat panitia pula. Hadeh!

Siapapun warga gak boleh asal ambil dan berkuasa, biarkan semua diputuskan bersama. Demi apa? Demi barakah acara dan persatuan terjaga. Tidak boleh mengutamakan keluarga juga kenalan saja, ini hajat kita semua bukan miliki sebagian belaka.

Oleh karena itu, penulis pun hanya berani bicara sih, kalau diposisi utama mungkin tak mampu. Apa salahnya bicara, toh demokrasi beri kita bicara selama tujuannya baik dan tidak fitnah. Kalau ada yang tidak setuju ya gak apa, dialog selalu terbuka untuk siapa yang sudah merdeka.

Lepas dari itu, aku bersyukur kepada Allah. Acara kemarin adalah anugerah. Renungan untuk kita, bahwa persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab. Itu bukan kata saya tapi kata Nabi Muhammad saw., yang kita yakini risalahnya. Terus, jalan siapa yang kamu pilih? (***)

Pandeglang, 10 Oktober 2023   13.37x

Posting Komentar

0 Komentar