Ketakutan Saya di Masa Lalu

Sumber Piad UIN Malang


Peristiwa itu masih aku ingat. Peristiwa yang sampai saat ini menjadi trauma. Peristiwa yang membekas, dan aku berpikir aku tidak bisa berani bicara di depan umum.

Usiaku sekitar 10 tahun. Aku masih kelas 4 SD (seingatku), itu di bulan Maulid- april. Sekolahku mendapatkan undangan untuk mengirimkan perwakilannya di lomba pidato tingkat kecamatan.

Aku ditunjuk dari pihak sekolah sebagai peserta laki-lakinya sedangkan peserta perempuannya masih teman dekatku. Kita gak bisa menolak, mau tidak mau harus manut. Singkat kata, di daftarkan kami sebagai pesertanya. 

Persiapan selanjutnya adalah bahan pidatonya. Kami diberi waktu tiga hari menghafal lembaran kertas pidato. Jujur saja, waktu itu aku sudah down duluan. 

Yakin bakal gagal. Bagaimana tidak, waktu begitu mepet menghafal teks yang monoton dan amat banyak. Hadeh, kepala rasanya kayak dijejali kerikil tajam.

Hari ke hari menjelang acara galau, gimana kalau gagal, gimana gagal. Terus begitu. Di puncak frutasi itu, satu hari menjelang acara aku ke pasar.

Di Pasar aku meminta uang ke bapak untuk membeli buku kumpulan ceramah, dan ketemu. Singkat cerita, aku menghafal satu bahasan yang menurutku cocok.

Seingatku tentang salam, afsus salam. Satu malam itu otakku diperas untuk menghafal itu. Ada pun soal besok gimana, pasrah pokoknya, aku bisa naik panggung sudah bagus. 

Dan teng teng, besoknya aku bangun kesiangan. Harus pula mencari busana yang cocok yang mana. Pagiku penuh kecemasan. Di sekolah teman-teman dan dewan guru yang mendampingi sudah menunggu, dengan sisa cemas dan dag dig dug aku berangkat!

Pas sampai di tempat acara, rasa tambah dibikin cemas karena melihat busana dari sekolah lain yang... keren. Sedangkan aku, baju yang tak disetrika, celana yang kusut plus celana gak ada resleting! Amun dah ah. Lengkap banget. Hahaha.

Aku peserta ke lima dari puluhan peserta lainnya. Kamu tahu, peserta pertama tampil begitu memukau. Berani. Ceplas-ceplos, dan humoris sampai juri dibuat ketawa pun penonton yang hadir.

Kedua dan seterusnya pun begitu. Tiba giliranku.... badan panas dingin, mata ga fokus dan suara bergetar. Bisa dibayangkan hasilnya seperti apa. Nyaris gagal! 

Peristiwa itu sampai kini masih jadi trauma aku bicara di depan publik. Tiap ada kesempatan pasti tubuh panas dingin dan cemas duluan. Nafas terasa sesak. Ya, kalau lingkup tetutup dan terbatas ya gak malu sih tapi kalau luas maka biasanya aku menolak.

Hal ini berpengaruh ke mentalku. Alam bawah sadarku seolah memberi perintah, ketika di depan umum maka kamu pasti gagal. Gagal lagi.

Jujur saja menjadikanku kurang maksimal dalam bergaul, tiap dari teman-teman pegiat literasi buat acara dan aku didulat menjadi public speaker aku emoh duluan.

Setelah aku membaca buku Attitude is Everyhing karya Jeff Keller, apa yang aku alami itu disebutnya film pikiran sejak kecil. Bayangan yang sejujurnya bisa diubah, tergantung kita apa mau di ubahnya.

Caranya gimana? Dengan kita menjadi sutradara di film kecil kita itu. Kalau dulu penuh kecemasan maka harus kembali diubah jalan ceritanya agar penuh keriaan.

Sebagai contoh, di atas aku cerita bahwa aku punya cemas tampil di depan umum gara-gara gagal tampil maksimal di lomba pidato tingkat kecamatan. 

Kalau aku ingin berubah maka fokusku sekarang memperbaiki sketsa film masa lalu itu dengan pikiran aku sukses dan berhasil. Ya, aku tampil prima, membuat juri terpukau dan pendengar macam dikocok perutnya karena terus tertawa dengan pidato yang aku bawa. Bisa dipastikan aku menang telak!

Ya, aku harus berpikir menang sekarang. Kita tidak bisa mengubah masa lalu tapi kita menghiasi depan kita dengan penuh percaya diri.

So, semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi ya. Jangan terlalu lama tenggelam di ketkutan masa lalu, karena kita punya masa kini dan masa depan. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 13 desember 2024   15.17

Posting Komentar

0 Komentar