![]() |
Ilustrasi diambil di pixabay.com |
Langit kampung amat gelap. Semakin lekat dengan guyuran hujan yang medinginkan jasad. Suara petir melengkapi dengan sunyi nan syahdu. Lagu-lagu terkini menemaniku meraba kata demi kata yang ditorehkan ulama. Ya, kata demi kalimat.
Kamu tahu, aku ingat kamu!
Ingat masa di mana kita saling melempar candaan. Kamu yang tersenyum manis. Aku tertawa ceria. Kita merangkai kalimat untuk masa nanti, di mana kita ingin satu kepalan sama. Menetapkan mimpi untuk jejak masa nanti.
Ya, kita hamba yang mengharap cinta. Dipersatukan takdir dalam kisah yang entah kenapa begini. Aku di sini dan kamu tetap di sana, menebar rindu dan kasih namun terjeda layar 4 inci.
Apakah berharap saja cukup? Kita adalah manusia dewasa berharap adalah kata musykil. Sebab, di luar sana cinta selalu butuh bukti. Maka selalu terjebak pada dua pilihan: halalkan atau tinggalkan.
Tragis memang. Namun apalah kata, hidup bukan soal lagi janji dan sederet harapan. Ada masa kita harus bercermin pada senyum mereka--teman kita yang sudah lebih dulu menjemput takdirnya.
Kita pun menatap orang terkasih--keluarga kita, yang tak jera mengingatkan kita; bahagiamu adalah apa yang nyata di depanmu bukan khayalan penuh imajinasi. Tak peduli kita terpuruk oleh rasa. Kita menjerit oleh kenyataan yang terasa pahit.
Tapi, inilah hidup. Inilah kisah kita. Ini kisah kamu dan aku, yang ingin jadi kita. Namun kita adalah sebuah perjuangan yang menguras rasa dan pikiran. Tiap hari kita mengeja tahun, kapan saat itu, kap-an saat itu, kapan masa itu.
Pada jadinya merasa kok makin sulit. Makin melelahkan. Makin berkabut. Semua penuh ketidakpastian. Kamu ingin lebih dulu, aku ingin tetap menunggu. Aku ingin menikmati masa sampai ada kata restu, kamu merasa pilu diserang sana-sani oleh kata: kapan menyusul?
Ya, hal yang sukar dalam hidup adalah menunggu. Menguatkan oleh kata tapi dilemahkan oleh ketakutan-ketakutan. Kita ingin bertahan tapi berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan. Kita saling menguatkan tapi dijengkelkan hubungan itu tak menemukan kemajuan, berarti.
Ah, langit makin gelap saja. Deras hujan terdengar macam biola lirih. Malam makin beranjak. Aku tetap di sini menorehkan luapan emosi yang terasa bernyanyi. Berlari-lari mencari makna. Menekuri apa yang terjadi, terlihat dan terpenjara imajinasi.
Malam kian larut. Mata belum beranjak. Demikian, manusia hanya bisa berencana dan menerka tapi tak bisa memberi pasti pada takdirnya. Yang bisa kita lakukan adalah menerima semuanya dengan pikiran terbuka dan hati yang lega.
Tak usah mencaci, kenapa malam gelap. Karena itu takdir-Nya. Mungkin di balik malam itu kita bisa merenung dalam kesunyiaan. Meraba makna akan takdir yang kita hadapi. Mengambil hikmah. Apa dan seperti rahasia.
Diam jauh lebih baik daripada bersama dengan bara juga lara. Kita memang tak ingin, namun semua sudah terjadi. Biarlah kita tatap esok. Semoga mentari menghangatkan lagi jiwa kita seperti dulu, tak sama namun penuh ceria. Semoga kita bahagia. (***)
Pandeglang, 5 Juli 2025 23.57
0 Komentar
Menyapa Penulis