Alasan Kita yang Merasa Spesial dan Tak Bahagia

Aku marah, apa urusanmu? (Sumber: Parentalk)

Apa sih yang hendak kamu kejar di hidup ini, kalau semua yang kamu kejar akan jadi cerita saat nafas tak lagi berhembus?

Ada seorang yang usianya sudah sepuh bercerita ke saya, bahwa katanya ia merasa, orang kok pada tidak suka padanya. Gara-garanya sederhana, dia suka mengaji ke kampung lain tapi tidak pernah hadir ke kampungnya.

Alasannya dulu gurunya dulu memberi nasihat agar tidak sembarangan mengaji. Maksudnya agar memilih guru cukup satu dan mampu berkhidmat kepadanya lahir batin.

Kata gurunya, Imam Hajar dulu punya 1000 guru dan mampu berkhidmat kepadanya. Gurunya punya 4 dan mampu berkhidmat padanya. Silakan berguru lebih dari satu tapi syaratnya harus mampu khidmat, kalau tak mampu, cukup satu.

Singkatnya, karena alasan ini beliau gak mau berguru secara sembarangan. Karena alasan ini sering dicemooh. Pikirnya, kenapa orang tidak mau memahami pikirannya. Bukannya itu bagian ihtiyat, kenapa orang usil kepadanya.

Saya yang muda mendengarkan dengan baik, selebihnya mengomentari secukupnya. Namun dari sini ada i'tibar yang saya dapatkan.

Pertama, kenapa sih kita merasa selalu spesial?

Orang yang merasa spesial sejatinya orang yang tidak spesial. Sebab orang spesial tidak memerlukan penghargaan orang. Dihargai atau tidak, sejatinya ia memang selalu spesial. Spesial itu hasil proses latihan panjang bukan datang tiba-tiba.

Kalau sudah begitu, kenapa harus marah saat kita tak dihargai? Kenapa harus benci saat kita dicaci maki? Kenapa harus keki saat tak juga dianggap berarti di mata mereka?

Justru harusnya, status spesial menjadikan ia merasa hina. Semakin seseorang merasa hina, ia tak peduli dengan cemoohan orang. Dia memang tak terima dan setuju dengan omongan orang, tapi bertenggang rasa dengan itu. Mungkin ada benarnya omongan orang. Begitulah tidak kecil hati.

Kedua, kenapa merasa paling penting dan sibuk?

Kita merasa penting dengan aktivitas kita, saat orang menganggap sebelah mata atas kesibukan itu, kita marah dan jengek. Bagi kita, apa yang kita lakukan itu baik dan punya tujuannya bagus.

Kenapa pandangannya begitu kotor pada aktivitasnya?

Padahal, kalau ia punya pikiran itu, apa salahnya orang berpikir lain seperti yang ia pikirkan juga. Kalau ia sibuk, sibuknya apa itu bermanfaat untuk orang yang mencacinya.

Atau jangan-jangan, apa yang ia pikir manfaat itu, hanya seperti yang ia pikirkan bukan pikiran orang lain. Kenapa ia sibuk dengan dirinya, namun menutup fakta, tidak semua orang harus suka padanya. Begitu pula dirinya, tak jua harus suka dan benci dengan orang lain.

Ketiga, kita menderita karena pikiran kita.

Sebenarnya, semua sesal dan kesal kita karena kita gagal mengelola jiwa dan rasa kita. Maksudnya, saat orang lain mencaci kita, bukannya kita punya pilihan untuk marah atau bersikap biasa. 

Kita bisa marah, membalas cacian itu. Merasa sakit hati dan pikirannya. Betapa jengkel pun mendendam jiwa. Atau bersikap biasa, menerima apa adanya. Berpikir, dia memang tidak suka pada saya, ya sudah. Saya mah biasa saja, serahlah.

Dada pun merasa tenang. Hati tak terusik. Pikiran biasa saja. Simpulnya, semua derita yang kita rasa bisa saja semua karena kita gagal memproyeksikan diri. Begitu kata para ulama juga orang bijak di segala zaman.

Sampai di sini, mari muhasabah diri. Mari memperbaiki diri dengan renungan diri. Fokus pada dirimu, bukan pada pandangan orang yang tidak suka padamu tapi mungkin aslinya gak begitu. Karena kamu gagal menafsirkan sikap mereka. Wallahu'alam. (^_^)

Pandeglang, 26 Agustus 2025   00.15

Posting Komentar

0 Komentar