Mencari Titik Kesal di Mana

Ilsutrasi depositphotos.

___________

Sampai sekarang aku merasa aneh dengan diriku, terkait sikapku yang kurang gentle. Itu menyoal sebagian orang yang aku ajari dan berpindah ke tempat lain. Aku merasa terluka dan agak kesal. Rasa ini membuatku kadang bersikap kurang baik. Seolah membenarkan bahwa aku pantas melakukan itu.

Aku heran.

Kok aku punya rasa sepicik itu. Kadang aku agak emosional, walau aku hanya aku yang tahu. Di hadapan orang terlihat tak ada apa-apa, aslinya macam terbakar. Misalnya ketemu mantan anak didikku tersisa kemarahan yang terpendam.

Aku sungguh bertanya ke diriku, kamu kenapa?

Bukannya kamu hanya pelanjut perjuangan. Kamu bukan satu-satunya orang di dunia yang dapat amanah mendidik generasi bangsa. Lebih milyar orang tercatat nyata memberi sumbangsih untuk agama, negara dan dunia. Lah, kamu apa?

Ketika mereka ada yang berpaling ke guru lain, mungkin saja ada hal lainnya yang tak kamu pahami soalnya. Orangtuanya kurang suka dengan metode belajarmu-- bertahun-tahun belajar sama kamu kok belum ada perubahan signifikan. Kalau bertanya, mereka sungkan. Kesannya men-dikte dirimu. Diam juga agak menjengkelkan.

Saat mereka mengambil keputusan untuk hengkang darimu, bukan berarti tak lagi menghargai dirimu. Justeru itu sikap mereka yang tak ingin mempermalukanmu. Mungkin kamu merasa lain, tapi sesungguhnya sikap lain karena kamu "gagal" memaknai di balik keputusan tersebut.

Aku pernah berpikir begini, "kenapa aku fokus pada apa yang hilang, bukan apa yang aku miliki sekarang?"

Jawabnya, karena aku kurang menggunakan logika sehat dan meraba peristiwa dari sudut pandang lain yang lebih adil. Alih-alih begitu justeru aku bersikap ambivalen atas kekhawatiran-kekhawatiran di dalam pikirku sendiri.

Barangkali hal begini yang memicu sikap tak adil, melihat sesuatu dari kaca mataku. Apa yang menurutku baik selalu diasumsikan baik pula untuk orang lain. Padahal belum tentu, apa yang kita anggap baik itu hanya anggapan kita bukan orang lain. Oleh karenanya, kenapa memaksakan sikap pada anggapan semu?

Di dunia penuh dinamika yang tak selalu bisa ditafsirkan apalagi diterjemahkan secara nyata ini. Moral biasannya apa yang diyakini bukan apa yang ingin dikeluarkan.

Sampai di sini, perlu usaha dan latihan untuk lebih baik lagi. Pribadi yang mau menerima kenyataan sepahit apa pun itu. Bersikap adil atas apa yang belum dipahami. Ada ikhtiar ke sana, tak sekedar berkata tanpa aksi nyata.

Atau, ini kesempatan menerapkan metode baru pembelanjaran yang lebih efektif? Mungkin saja, semua bisa terjadi.[]

Pandeglang, 2/11/25   01.16

Posting Komentar

0 Komentar