Sikap dan jiwa Kekanak-kanakan Kakak Saya

Namanya bagus. Diberi nama Mujahidin oleh keluarga. Dia termasuk anak yang tak diganti namanya di keluarga. Perawakan kecil, cukup rupawan, dan talenta yang ada. Di masa kecil termasuk orang yang saya jadikan saingan, alasannya sederhana : karena saya merasa sering dibandingkan. Dibandingan itu hal yang menjengkelkan. Apalagi dengan sesuatu yang tak ada di jiwa kita. 

Masa itu, hari saya hanya kecemasan. Tapi Allah selalu punya rencana. Justru dari hal yang kurang mengenakan itu saya berdamai. Menerima apa yang terjadi. Dengan tidak ingin hanyut di keheningan hidup. Lahir di keluarga besar dan kita menjadi sosok yang "dituakan" itu mudah. Kita dipinta oleh keadaan untuk selalu kuat dan ceria, sampai tak ada yang tahu di jiwa kita ada borok/luka menganga. Siapa yang ingin mencium baunya.

Dari sana jiwanya saya ditempa. Ditata dan tumbuh. Dengan didikan dan pemahaman baik dari orang tua. Adik saya ada enam. Saya anak ke dua dari delapan bersaudara. Tak mudah menjalaninya. Apalagi orang tua. Untuk memastikan kehidupan dan tercukupi kebutuhan, emak-bapak kerja banting tulang-- tak jarang menghutang ke mana-mana. Kadang ada yang baik hati memberi, ada juga dengan wajah masam lagi mengerikan menanggapi permintaam enak itu. Tak mudah dan gampang. Tapi namanya tuntunan kehidupan, mau apalagi. 

Dalam hal ini, emak yang paling mencolok perjuangannya. Yang paling berat ketika memiliki si kembar dan kakaknya yang harus menyusu. Demi tercukup membeli susu formula tak mudah. Saya yang sudah mulai besar tentu menyaksikan itu, seringkali disuruh menghutang atau membeli. Hal itu berefek pada kejiwaan saya dan kakak. 

Di awal itu kakak saya mitra berjuang, meski ada jujur ada saja rasa nyaman di dada. Namun entah, saat keadaan mulai bersahabat dan adik-adik mulai besar ujian belum juga surut. Kakak saya itu terserang penyakit psikologi dan menghempaskan jiwanya di lautan sunyi lagi sepi. Di sana dia tersesat dan tumbuh dengan khayalan. Untuk tahun yang berat itu, emak termasuk yang paling menderita. Apalagi "sakit" yang mendera emak juga belum sirna. Problem di rumah makin banyak. Lagi-lagi saya harus mengikatkan ikat pinggang.

Allah selalu punya rencana. Masa yang berat itu dijalani dengan tawakal. Allah pun memberi kesembuhan dan mengembalikan ingatan kakak saya itu, tapi sikapnya kini berbeda. Dia yang pemalu sekarang mulai ceriwis. Sikapnya tak ada beda macam bocah sepuluh tahun yang baru tahu lingkungannya, tanya jawab, dan anek kekonyoalan lain. Bahagia sekaligus miris menyaksikannya. Sehat badannya sih, tapi itu akalnya ada yang kurang..., mau gimana lagi. Itulah rahasia ilahi.

Terkadang dalam satu hari mengajukan satu pertanyaan dengan sepuluh atau lebih pengulangan. Kalau keinginannya tak dikabulkan sering marah tak jelas, merusak asesoris rumah. Dan banyak hal lain yang buat raga greget dan gado-gado.

Tapi saya dan keluarga percaya, ini hanya proses. Suatu waktu badai akan berlalu. Ada masa ombak akan berganti. Hanya butuh kesabaran esktra. Ini mungkin penerjemaahan nyata dari hadits Nabi, "addunya darul bala'i wal imtihan". Bahwa katanya dunia itu tempatnya ujian dan musibah. Tinggal bagaimana kita saja menyikapinya. Selebihnya, walallahu a'lam. (*)

Pandeglang,   25/7/21  

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar