TENTANG LAILA

--
Namanya Laila Aulia. Gadis biasa dengan penampilan biasa. Wanita yang tak sengaja bertemu di Perpustakaan. Saat itu, aku tengah mencari buku untuk merampungkan karya perdanaku yang ingin dibukukan. Itupun tak sengaja. Ada lucunya juga. Ceritanya aku menanyakan pada petugas di sana, di mana letak buku psikologi dan sejarah. Aku berani bertanya karena ditangannya ada tumpukkan buku sejarah. Pastilah, anggapanku, itu petugasnya.

Dia hanya tersenyum, yang bagiku aneh. Ditanya kok senyum. Sehat ini orang? Tapi ya, aku pahami saja. Dari arah yang tak kuketahui, ada sosok yang menjawabnya.

"Kakak salah orang," katanya. "Dia temanku, dan bukan... petugas Perpus!"

Aku lihat ke mana arah suara itu, dan... sempat kaget! Pesona yang meruntuhkan iman. Sosok jelita dengan cadar dengan warna yang menonjol, senyum terpancar dibalik mata yang bersinar. 

"Eh, maaf. Soalnya itu buku banyak benar, saya kira petugasnya."

"Ya, slow aja. Mungkin ada tampang saya macam petugas," jawabnya sedikit ketus sampai aku dibuat tertawa. Dia tentu kaget dan itu, wanita bercadar. 

"Udah, anterin sono Laila. Sini bukunya biar aku pegang." Kata wanita bercadar itu.

"Kita bareng saja. Tadi katanya kamu lagi cari buku psikologi, sama itu letaknya. Lagian ini keberaran, ada yang mau aku tukar."

Kami pun berjalan. Karena kasihan, aku menawarkan untuk membawa buku tersebut. Laila menyerahkan semuanya, wadaw berat juga gerutuku. Setelah mendapatkan buku yang aku inginkan sebagai bentuk rasa terima kasih juga basa-basi menawarkan untuk ngopi bareng di warung terdekat, sekalian diskusi hangat. Aku lihat Laila lumayan juga wawasan sejarahnya. Dua sahabat dekat itupun hanya saling pandang dan kemudian mengangguk malu-malu. 

Itulah awal kami kenal dan berlanjut di kanal maya. Sejatinya aku tertarik pada wanita bercadar itu, yang punya daya tarik. Tapi karena cadar itu, dia punya posesifitas dan privasi yang lebih kuat. Toh hanya diskusi, kalau tak mau ya sudah. Lagian dalam banyak hal, Laila lebih buatku nyaman. Wawasan lumayan dan argumen-nya cukup kuat. Itu membantu menambah pengetahuan terkait suatu hal.

Karena kesibukan, aku jarang sekali ke perpus. Otomatis jarang ketemu. Tapi komunikasi dengan Laila intens. Katanya dia tengah merampungkan tesis-nya terkait Sejarah Perkembangan Islam di Banten. Dari sosmed berlanjut ke Whatshapp. Kami tidak pacaran, ya harus aku akui arahnya memang mirip. Aku pikir, dijalani saja tanpa harus banyak bicara apa tentang rasa. Laila dan aku sudah dewasa, tentu paham ke mana nanti yang kami harapkan. Aku nyaman dan dia pun kayaknya begitu. 

Tak hanya terkait sejarah, kami cerita tentang apa saja. Sesekali ketemu kalau memang ada waktu luang. Bagiku dia tipe wanita yang tak ribet, tak bertanya hal yang memberatkan. Berhubungan dengan dia meringankan kepenatan hidup, di sisi lain memberi harapan untuk masa depan yang cerah.

Aku pikir dengan kedekatan kami selama dua bulan, itu sudah tahu dirinya. Ternyata tidak sama sekali. Hal itu aku bermain ke rumah teman di Kadu Merak. Namanya Alfian. Saat itu, aku melihat Laila. Ternyata dia anak salah satu tokoh di Pandeglang dan tengah mengajari anak-anak di samping rumah. Di ruangan kecil tapi menarik.

"Kamu kenal dia" kata Alfian kaget.

"Iya, teman di maya. Berawal dari Perpus," kataku.

"Gantle juga kamu Jamal. Dia primadona di sini tahu. Tak ada yang berani melewati benteng itu. Eh, ujug-ujung kamu bisa. Salut!" Katanya sambil mengacungkan dua jempol. 

Alfian pun menceritakan siapa orang tua Laila dan aktivitasnya. Tak hanya itu, dia juga menjelaskan aktivitas Lalila. Wanita Cadar itu temannya dan pernah satu sekolah. Akupun tertarik untuk berbincang dengan bapaknya. Sebelum pulang, aku meminta Alfian untuk mengantar silaturahmi ke sana.  Laila nampak kaget melihatku, aku hanya balas tersenyum.

"Kamu lanjut aja Lail, kasihan anak-anak. Aku pengen ketemu ayahmu."

"Cie, apel kok ke bapaknya." Kontan saja disambut tertawa anak-anak. Laila hanya tersenyum dan langsung ke dalam memberi tahu bapaknya. Aku lihat sekeliling ruang itu, hmp..., tersentuh juga. Anak-anak yang pintar tengah sibuk menulis, sesekali ada yang usil menganggu temannya. Alfian yang kenal mereka, memberi intruksi diam. Namanya anak-anak, mana bisa? Alfian balas dengan senyum masam, dan aku hanya tertawa. Lucu melihat wajah nelangsa dia walau pura-pura. 

***

Laila Aulia. Nama itu sekarang punya makna lain. Ada getaran aneh kala menyebutnya. Dari bapaknya aku kenal sepakterjang anaknya, karena aku katakan bahwa aku temannya. Mungkin bapaknya kenal aku, terlihat saat ketemu terlihat biasa. Kagum juga dengan bapak paruh baya itu. Di usianya yang begitu, masih bugar dan sehat daya ingatannya. Berbincang dengannya seakan tengah duduk di ruang kampus. Wawasannya patut diacungkan jempol. Satu jam berbincang dengannya serasa satu menit saja.

"Kata Laila, kamu penulis?"

"Penulis?! Bukan Pak, saya hanya penyuka dunia kata. Sehari-hari saya jualan di Pasar."

"Ah, dia mah pura-pura Pak. Padahal tulisannya sudah sering mampir di beberap media online dan surat kabar. Raganya mungkin di Pasar, tapi gak tahu kan pikirannya mengembara ke mana. Kayak sekarang aja, bisa jadi pikirannya melongos ke mana," Alfian ikut menyambung sambil mengedit nakal kepadaku. Seketika wajahku bak kepiting rebus. Merah menahan malu.

Bapak Laila keningnya mengkerut, "Maksudnya Nak Fian?"

Aku tambah salah tingkah. Alfian ini kadang-kadang bercandanya suka keterlaluan. Gak liat usia. Kalau sudah begini kan jadi repot aku dibuatnya.

"Hmp, iya Pak Ali. Maksudnya, raga Si Jamal mungkin di sini, tapi bisa jadi otaknya tengah memikirkan ide terkait tulisannya." 

"Oh gitu, kamu ini sama orangtua main kode-kodean aja Fian," Pak Ali menyahut dengan senyumnya.

Setelah kunjungan tak sengaja itu, kami jarang sekali kontekan. Di bulan kedua hilang tanpa kabar. Mungkin karena kesibukan. Aku fokus ke karya dan mengikuti pelatihan di Yogya selama dua bulan. Dia mungkin fokus ke kuliahnya yang sebentar lagi rampung. 

Di medsos pun tak  ada saling sapa. Aku jadi tidak enak hati. Apa ini gara-gara aku main ke rumahnya dan dia marahi oleh bapaknya. Mau minta bantuan ke Si Alfian malu. Mencoba chat ke nomor Whatshaap-nya ceklis satu mulu. Serba salah. Terasa ada sepotong hati yang kosong dan hari-hari kurang bergairah. Atau ini salahku karena kurang tegas, kata buku yang aku baca bukannya wanita butuh kepastian. Dia menunggu, kok aku kurang peka.

Jadi ingat pas dia cerita terkait Sejarah Banten di warung dekat Perpustakan. Katanya, Banten mengalami masa jaya itu pada kepemimpiman Sultan Ageng Tirtayasa. Di masa itu, Banten setara dengan Kerajaan Aceh di Ujung Barat. Bagaimana para penjajah tak berani menginvasi. Di tangannya para pelancong itu diberi peraturan tegas. Keberaniannya tak kenal orang, baginya demi sajahteranya Banten  maka tak boleh ada yang menganggu kenyamanannya.

"Kalau kata Ahmad Mansyur Negara di buku Api Sejarah-nya, hanya di masa Sultan Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa-lah Banten mencapai kejayannya. Selebihnya, Banten dimotori oleh Para Penjajah. Sampai pada abad 18 masehi itulah Keraton Banten diporak-porandakan."

"Sedih juga ya. Kenapa di masa dua Pemimpin itu Banten bisa jaya?"

"Bisa jadi karena tegas, berani, dan bisa membaca peluang. Aku pikir, lelaki memang sepantasnya begitu," katanya menggebu. 

Entah itu sinyal untuk aku peka dengan perasaan yang ada atau aku saja yang terlalu berlebihan memaknainya. Tapi aku ingat, ekor matanya melihat aku dan ada senyum misterius di sana. 

**

Setelah pulang dari Yogya esoknya aku menelpon Alfian agar bisa menemaniku ke rumah Laila. Katanya tak bisa karena sedang di Malingping, ada acara keluarga satu minggu lebih. Tak ada pilihan lagi, aku harus ke rumahnya. Dan rasa ini harus menemukan rumahnya. Dengan membaca basmalah, minta doa ibu dan membawa sisa oleh-oleh aku berangkat. 

Namun aku dibuat heran, karena ada dua mobil di depan rumahnya, mungkin tamu atau keluarga besarnya tengah berkunjung. Cukup ramai. Aku tahu diri, kuputuskan untuk pulang. Baru saja mesin motor hidup, rombongan itupun mau pulang juga. Karena ekor mata Pak Ali melirikku sebagai penghormatan aku matikan motor dan  langsung bergabung untuk menyalami. 

"Siapa ini Pak Ali?" Tanya seorang.

"Oh, ini Nak Jamal. Dia teman  Laila."

"Kenalkan Pak, Saya Jamal," saya pun menjabat tangan bapak setengah baya itu. Dia tersenyum lembut. 

"Saya Furqon," kata lelaki termuda di rombongan itu. 

"Saya Jamal. Senang berkenalan dengan Anda." Dia hanya mengangguk sambil tersenyum ramah. 

Di pintu masuk, Laila hanya terdiam. Entah kenapa aku tak melihat Laila yang aku kenal. Wajah ceria dengan senyum manis itu tak aku temukan di sana. Dia seumpama bunga yang meranggas dan mulai gugur. 

"Mari Nak Jamal masuk. Waduh rumahnya berantakan. Itu tadi teman kuliah saya di UI. Dia memboyong putra ketiganya yang baru pulang dari Pondok Lirboyo."

"Furqon ya Pak?"

"Wah, baru saja ketemu langsung hafal saja kamu. Salut bapak saya daya ingatmu. Kemana aja kamu, kok jarang main ke sini?" 

Akupun cerita aktivitas-ku dua bulan ini. Sibuk mengikuti pelatihan di Yogya dan baru bisa silaturahmi. Aku tak lama-lama. Langsung pamit dan nitip salam buat Laila yang katanya kurang sehat. Ada rasa yang berbeda, ada sesuatu yang entah apa itu. Untuk mendamaikan jiwaku, aku tancap gas.

Sepanjang perjalanan teringat wajah sayu itu, ada apa gerangan dengannya. Terus Furqon itu? Lulusan Lirboyo? Teman Pak Ali? Apa jangan-jangan ini pertemuan 'serius'? Setelah sampai rumah aku langsung mengurung diri di kamar. Entahlah, mungkin ini takdir terbaik untuk kami. Apapun yang terjadi aku harus menerima.(*)

Pandeglang,  25/7/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar