Ingin Punya Nilai Diri, Lakukan Tiga Hal Ini

Skala rasio kita itu sejujurnya besar, tak ada alasan seseorang "bangga" mengaku masih bodoh. Dimensi bodoh itu buruk sekali, kok ada gitu yang mau dan betah disebut demikian. Di mana harkat diri? Apalagi itu terus saja didengungkan.

Ruang lingkup sosil memang sering mengaburkan. Bukan tanpa alasan kenapa ada yang tidak sangklek, bisa jadi ada oknum tertentu yang memang secara jasadi pintar dan terdidik tapi kismin lagi rapuh dalam kualitas. Pada kenyataan asli mereka jadi patung yang menghiasi ruang sosial, tak jarang menambah problem juga kerunyaman di tengah masyarakat. Itu bisa kita lihat dengan tertangkapnya buronan KPK atau yang jelas pejabat terkena OTT. Kita bisa menyimpulkan siapa dan di mana dia dibesarkan, dan bagaimanana riwayat pendidikannya. 

Dalam hal ini perlu kiranya tiga kecerdasan fundamental kita perhatikan. Yaitu cerdas secara intelektual, emosional, dan cerdas spiritual. Tiga hal urgenitas menyongong masa peradaban baru lagi menyerahkan. Untuk lebih jelasnya mari kita coba uraikan bersama. 

Pertama, cerdas secara intelektual. Sebuah cerdas primer akan tonggak keilmuan kita. Saya rasa ini hak pertama kita, tak hanya negara bahkan Nabi dijauh hari telah memotivasi Ummat Islam untuk semangat mencari ilmu. Sampai hukumnya wajib 'ain. Penekanan "wajib 'ain" bukan tanpa alasan, dalam prakteknya ibadah pun berefek : untuk apa ibadah kalau tak tahu ilmunya. Sebab yang tak tahu sering tersesat dan mudah dikibuli

Dalam konteks bernegara kita misalnya indah dipahat di Pembukaan UUD 1945, yang mana isinya mewajibkan kepada pemegang amanah rakyat untuk mencerdaskan anak bangsa seluruhnya. Semua yang tercatat sebagai bertumpah darah Merah Putih. Bagaimana buktinya? Belum signifikan. Benar pemerintah sudah bekerja, tapi dengan masih tingginya angka putus sekolah, rendahnya melek baca, mahalnya masuknya perguruan tinggi bisa jadi indikasi ada yang belum merata upaya pencerdasan kepada anak bangsa. Jangan sampai generasi bangsa tumpul keilmuannya lalu abai lagi bingung apa yang harus dia berikan pada bangsanya.

Kedua, cerdas secara emosional. Ini lanjutan dari kecerdasan pertama karena dunianya lebih sentimentil. Kenapa begitu? Karena seharusnya dan sepantasnya orang yang cerdas itu mereka yang punya kepekaan tinggi untuk merubah ruang sosial yang tak ideal. Masih banyak melihat orang terdzalimi, kelaparan orang terpelajar seharusnya terketuk untuk memberi aksi lagi solusi. Bukan macam "pejabat negara" yang tak tahu malu. Sudah menikmati dunia ilmu, kerja enak, digaji tinggi, tunjangan tak kalah bergengsi tapi masih juga mau meng-korupsi lagi meng-kooptasi rizki kaum yang menjerit karena dunia bersahabat dengannya. 

Entah di mana rasa kepekaan yang ada hasil asahan di gedung keilmuan tersebut. Seharusnya mereka adalah agen perubahan bukan agen yang meruntuhkan perubahan itu sendiri. Inilah penting dipahami selain cerdas secara intelektual juga secara emosional. Jadi nanti ada output di jiwa, tak hanya saja input. Seumpama badan, tak hanya sibuk makan tetapi ada masa nanti membuang makanan (BAB), karena bahaya sekali kalau menimbun makanan saat tubuh tak kuat lagi menahan, yang ada meledak! Ngeri!!!

Lakon dan teladan yang mensikronkan kecerdasan ini bisa kita lihat dari perjuangan panjang Pahlawan Bangsa. Bagaimana tidak, negaranya dijajah dan jerit miskin di mana-mana. Jangankan untuk mengecup lautan ilmu, untuk makan saja repot. Maka hadirlah mereka orang terdidik, entah dari lembaga formal mau non-formal, teketuk nuraninya untuk memberi solusi nyata akan nasib bangsa yang tertindas.

Merdeka pun diteriakan. Pergerakan dan perjuangan pun dilakukan. Meski resiko dan akibatnya amat berat, nyawa tentu jadi taruhan. Apa mereka takut? Tidak sama sekali. Ada yang jasadnya tak ditemukan, dipenjarakan, dibuang keluar kawasan, teror lagi ragam ancaman jadi sarapan. Atas dedikasi dan kontribusinya itu maka Lahirkan Proklamir Kemerdekaan di seantero negeri. Sejarah catat abadi dedikasi mulia itu, lantas bagaimana generasi kita?

Ketiga, cerdas secara spiritual. Sebuah tingkatan paling tinggi. Karena konklusinya apa yang dia lakukan karena penggabungan dua kecerdasan itu tak mengharapkan nilai material lagi, apa sekedar pujian belaka. Sumbangsihnya punya warna tulus dan tak berharap timbal-balik. Dihargai atau dicaci baginya sama saja selama langkahnya benar di jalan kebenaran. Bukan macam kita yang mudah baper karena tak dihargai usaha yang dilakukan.

Mereka tidak, karena sudah matang dan selesai dengan dirinya, tak ada lagi hasrat untuk memperkaya diri. Tuhan sudah ada di hatinya dan dalam langkah sesuai dengan kemurnian agama yang diyakini. Sebuah restorasi ideal dari proses panjang. Nama mereka tercatat damai di peradaban manusia, bisa tokoh agama, bangsa, atau siapa yang memang nyata memberi demi maslahat kemanusiaan di mana saja. Langkahnya pasti, sikapnya berani, dan niatnya suci. Sebuah anugerah besar peradaban kita tak kekurangan kelompon idealis ini. Puji kita sampaikan pada Maha Pencipta.

Sampai di sini, kita bisa merenungkan diri kita sudah sampai fase mana. Fase yang akan mengantarkan kita pada coretan sejarah. Tak selalu harus bangga dengan "kebodohan", walau kondisi lingkungan yang biasa, tak mendukung misalnnya. Tetap saja kita harus punya optimis diri dan punya langkah nyata demi eksistensi manusia yang punya arti. Wallahu 'alam. (*)

Pandeglang,  29/7/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar