Pagar Rumah

Dulu sekali orang yang rumahnya dipager itu rata-rata orang kaya-- atau kata orang kampung kami disebut Orang Cina. Karena rata-rata orang kaya itu Cina. Dikultuskanlah, dipager pasti rumah Cina.

Seiring berjalannya waktu anggapan itu berubah. Tak hanya Cina atau kaya, beberapa rumah di kampung kami banyak yang dipager. Kalau ditanyakan, ya biasanya estetika saja. Dengan dipagar terihat lebih rapi dan terjaga.

Tetapi dengan dipagar berefek pada pergaulan sosial. Orang sungkan untuk menyapa atau singgah, kalau mau biasanya didesak keperluan penting. Kalau tak ada, ya MM saja.

Persis seperti yang saya lihat tadi. Saya mengantar emak ke kampung sebelah, dan di rumah itu hanya ada beberapa rumah. Dari sedikit rumah itu ada satu rumah yang dipagar. Ada gap terlihat. Tak saling sapa. Sibuk dengan dunianya masing-masing. Jarak satu sama lain dekat menjadi jauh karena ada pagar di antara rumah. 

Menyaksikan itu saya merasa miris. Apa ini contoh kearifan desa dan lokal yang ada. Bila dulu kehidupan kota terkenal individualistik, maka kini kehidupan kampung pun yang terkenal kolektif bergeser pada kehidupan individulistik. Sebuah fenomena strata sosial ditentukan oleh ekonomi. Siapa yang ekonominya mujur maka dia bebas melakukan apa saja dan terkadang "menggeser" pada tatanan sosial yang ada.

Ada sosialistik di desa tak lagi sehangat dulu. Betapa budaya luar mulai menggusur budaya yang ada di pelosok. Sebabnya bukan hanya kemajuan iptek, tetap kita yang kurang bijak dan terarah mengelola kemajuan itu. Modernisasi memang keharusan. Tetap saja prinsip kearifan yang telah tertanam seyogyanya menjadi perhatian bersama. Kalau bukan kita siapa yang akan peduli.

Bila desa terkenal asri. Apalagi hutan disebut jantungnya bumi, maka perlu kita renungkan dengan sikap kita yang banyak merobohkan pohon tanpa aturan, membuang sampah di sungai/kebun, dan tak peduli dengan kerusakan ekosistem yang ada. Di sinilah perlu menyadari tugas dan kewajiban kita apa. Tak harus besar, bisa dimulai dengan hal-hal kecil. Bukankah begitu? (*)

Pandeglang   6/8/21

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar