HUJAN YANG MENYAKITKAN


Hujan masih deras menyirami bumi, terus dan terus. Tak ada jeda. Entah kenapa di sini, aku merasa beda dengan jutaan air ini.

Kamu tahu, aku masih di sini dengan jutaan luka yang menganga. Dengan perih terasa. Menusuk palung jiwa.

Hal yang membuatku tersiksa bukan hanya karena hujan, tetapi income-ku begitu saja tersapu cuaca yang tak mendukung. Aku ingin teriak, malu. Aku ingin menjerit, tak kuasa rasanya.

"Kamu tahu, hujan hari ini pertanda." Katamu.

"Pertanda Tuhan restui kita."

"Kok ngomong gitu, bukannya ini berkah, ya?"

"Iya, berkah untuk kita mewarni catatan hidup kita."

Aku ingat. Masih ingat kata-kata itu. Kamu ucapkan sepulang aku kerja. Secara tak sengaja kita bertemu di halte bis. Hujan turun deras.

Kamu yang terguyur hujan, memarkirkan motor, memilih tidak meneruskan motor. Betapa terkejutnya kamu, bertemu aku. Dan aku, pasti lebih kaget lagi. 

Sosok kamu ternyata bukan khayalan!

Itu awal pertemuan kita. Awal kedekatan hari. Mewarnai aktivitas dengan senyuman. Kita biasa menari dalam lautan kata. Di malam sunyi, gawai terus terjaga menemani.

Indah sekali mengenang itu. Meski ingin segera aku lupakan. Aku pikir, hal menyakitkan itu bukan saat kita tak dicintai, tapi saat orang yang kita cintai pura-pura untuk mencintai kita. 

Entah karena apa dan demi apa, itu amat menyakitkan. Kamu terus menyemai buahnya. Menyiram, sesekali memotong dahan layu dan mengusir hama yang mengganggu tumbuh kembangnya.

Di saat yang sama, yang kamu tak tahu dia juga tengah mengasah duri tajam untuk menusuk tangamu. Bukan untuk mematikan hama, tapi memberi ruang hama berkembang biak agar lebih banyak.

Ya. Tega sekaligus miris. Tapi itu nyata, ada di sekitar kita.

"Kenapa sih, kamu mau dekat dengan dia," kata teman di sela makan siang.

"Hmp, ya, gak apa-apa. Mau aja."

"Kamu gak tahu gelagat yang dia beri, bukannya itu seolah ada sesuatu." Katanya meyelidik.

Aku yang tak tertarik dunia ramal, memasrahkan pada takdir. Bagiku, itu hany prediksi. Sedang masih banyak prediksi lain yang bisa menyakalahkan argumen atau kecurigaan itu. Pada akhirnya, suatu saat nanti aku menyesal dengan kata-kataku yang tak percaya dengan saran.

Dua pekan setelah pertemuan di halte itu, hubungan tambah dekat. Seperti ada lem yang terus melekatkan. Tepat di waktu yang sama, hujan turun begitu cepat merayap. 

Di tempat kamu menyapaku dan mengungkapkan kata itu, aku melihat kamu. Ya. Kamu. Tak salah lagi. 
Tapi tunggu ..., kamu tidak sendiri. Ada seseorang di sana. 

Wanita yang jelita dan pakaian serba modis. Kamu berpegangan tangan, dan wanita itu tak ingin melepas kepalan tangan itu.

Dinginnya hujan tak jadi soal. Ramainya orang tak jadi masalah. Kalian berpegang erat seolah itu hari terakhir.

Sakit!

Perih sekali hati ini terkoyak. Temanku di samping yang tengah mengendarai mobil  hanya diam. Sesekali coba menguatkan. Ternyata, tak rugi aku menuruti kemauan dia untuk pergi kerja bersama. Meski menolak, dia tetap saja memaksa.

Ternyata, ini takdir buruk yang aku temui. Lemas sekali. Mataku sembab. Rasa itu terus merambat pada jiwaku. Rapuh dan amat nyeri di ulu hati.

"Kamu harus kuat! Ini hal terbaik untukmu. Mending sekarang kamu tahu daripada nanti saat rasa itu sudah menjadi akar yang kuat memeluk bumi."

Peristiwa itu sudah lama terjadi, sakitnya masih ada. Tertanam dan terlihat. Hujan tak selama memberi kenangan indah, ternyata dibaliknya ada hal yang menyakitkan.

Saat orang lain begitu antusias melihat hujan, aku masih tetap begini. Berusaha move-on dari kenyataan yang ada. Sulit. Tapi harus aku hadapi. Karena ini masalahku dan aku pasti bisa menjalaninya. (*)

Pandeglang |  15 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar